Link presentasi untuk materi ini:
https://prezi.com/9ch9df1nnzh5/copy-of-prezi/?webgl=0#presenthttps://prezi.com/9ch9df1nnzh5/copy-of-prezi/?webgl=0#present
Menurut UU No.
42 Tahun 2009 Pasal 1 Ayat 4 Penyerahan Barang Kena
Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak.
Menurut UU No.
42 Tahun 2009 Pasal 1A Ayat 1
Yang termasuk dalam pengertian
penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
- A. Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian
Penyerahan
hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian seperti jual beli,
tukar-menukar, jual beli dengan angsuran, atau perjanjian lain yang
mengakibatkan penyerahan hak atas barang.
Penyerahan
ini terdiri atas 2 yaitu Operasional Lease dan Financial Lease. Operasional
Lease adalah kegiatan sewa guna usaha, dimana lesse tidak mempunyai hak opsi
untuk membeli obyek sewa guna usaha contohnya adalah rental. Sedangkan
Financial Lease adalah kegiatan sewa guna usaha, dimana lesse, pada akhir masa
kontrak mempunyai hak opsi untuk membeli obyek sewa guna usa berdasarkan nilai
sisa yang disepakati contohnya adalah mobil, motor, leasing mesin-mesin
industri, kapal.
Ada
tiga pihak yang terkait, diantaranya adalah Konsumen, Perusahaan Leasing, dan
Dealer (yang memungut PPN).
- B. Pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing)
Pengalihan
Barang Kena Pajak juga dapat terjadi karena perjanjian sewa beli atau
perjanjian sewa guna usaha (leasing). Adapun yang dimaksud dengan penyerahan
karena perjanjian sewa guna usaha (leasing) adalah penyerahan yang disebabkan
oleh perjanjian sewa guna usaha (leasing) dengan Hak Opsi. Meskipun pengalihan
atau penyerahan hak atas Barang Kena Pajak belum dilakukan dan pembayaran Harga
Jual Barang Kena Pajak tersebut dilakukan secara bertahap, tetapi karena
penguasaan atas Barang Kena Pajak telah berpindah dari penjual kepada pembeli
atau dari lessor kepada lessee, maka undang-undang ini menentukan bahwa
penyerahan Barang Kena Pajak dianggap telah terjadi pada saat perjanjian telah
ditandatangani, kecuali apabila saat berpindahnya penguasaan secara nyata atas
Barang Kena Pajak tersebut terjadi lebih dahulu daripada saat ditandatanganinya
perjanjian.
Berdasarkan
SE-10/PJ.42/1994 yang mengatur pelaksanaan PPN terhadap Perjanjian Sewa Guna
Usaha dengan Hak Opsi sebagai berikut:
- a) Perlakuan PPN Terhadap SGU dengan Hak Opsi (Finance Lease)
·
Atas penyerahan jasa
dalam transaksi SGU dengan Hak Opsi dari Lessor kepada Lessee merupakan Jasa
Financial Leasing yang dikecualikan dari pegenaan PPN.
·
Pengalihan BKP oleh
suatu perjanjian SGU dengan Hak Opsi, termasuk dalam pengertian penyerahan BKP
yang terutang PPN. Penyerahan barang dianggap telah terjadi pada saat barang
(barang modal) dipindahkan penguasaannya dari penjual (supplier) atau Lessor
kepada pembeli atau Lessee, walaupun belum diikuti dengan penyerahan hak
kepemilikan atas barang yang disewa guna tersebut kepada Lessee.
- b) Perlakuan PPN Terhadap SGU Tanpa Hak Opsi
Penyerahan
Jasa dalam transaksi SGU tanpa Hak Opsi dari Lessor kepada Lessee adalah
penyerahan jasa yang terutang PPN. Karena Lessor sebagai perusahaan jasa
persewaan barang dengan demikian merupakan Pengusaha Kena Pajak.
- c) Perlakuan PPN Terhadap Sale and Lease back dengan Hak Opsi Perlakuan PPN tidak terutang PPN sepanjang barang modal (aktiva tetap) yang bersangkutan tetap digunakan oleh Lessee untuk kegiatan usaha yang menghasilkan penyerahan yang terutang PPN.
- C. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang
Pedagang
perantara ialah orang pribadi atau badan yang dalam kegiatan usaha atau
pekerjaanya dengan nama sendiri melakukan perjanjian atau perikatan atas dan
untuk tanggungan orang lain dengan mendapat upah atau bala jasa tertentu,
misalnya Komisioner atau yang ditunjuk oleh pemerintah.
Barang
– barang yang dijual lewat lelang tetap terutang PPN bisa bekas bisa baru
(tidak melihat jenis barangnya). Ada tiga pihak yang terkait, yaitu: penjual,
pedagang perantara, dan pembeli.
- D. Pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak
Pemakaian
sendiri mengandung pengertian bahwa Barang Kena Pajak yang merupakan barang
dagangan atau hasil produksi digunakan untuk kepentingan Pengusaha Kena Pajak
atau digunakan untuk kepentingan pengurus atau karyawannya. Atas pemakaian
sendiri Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak atau untuk pengurus dan
karyawannya, terutang PPN dan harus dibuatkan Faktur Pajak dengan menggunakan
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) sebesar harga jual Barang Kena Pajak tersebut,
tidak termasuk laba kotor.
Pemberian
cuma-cuma: sebagai pemberian Barang Kena pajak oleh PKP yang diberi tanpa
pembayaran baik dari hasil produksi sendiri, maupun bukan produksi sendiri
antara lain pemberian contoh barang dagangan untuk kegiatan promosi kepada
relasi atau calon pembeli, termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena
Pajak.
Atas
pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak oleh pengusaha Kena Pajak terutang PPN
dan harus dibuatakn Faktur Pajak dengan menggunakan Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
sebesar harga jual Barang Kena Pajak yang diberikan.
- E. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan
Berdasarkan
ketentuan Pasal 1A UU PPN Tahun 1994 menetapkan pajak PPN dikenakan atas
penyerahan persediaan BKP dan aktiva oleh PKP yang menurut tujuan semua tidak
untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan,
disamakan dengan pemakai sendiri sehingga dianggap sebagai penyerahan kena
pajak. Khusus untuk aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan tersebut, hanya dikenakan PPN apabila memenuhi persyaratan,
yaitu bahwa PPN yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.
- F. Penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang
Penyerahan
BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerhan BKP antarcabang
dikenakan pajak. Karena menganut prinsip desentralisasi Pengusaha Kena pajak,
maka baik kantor pusat maupun kantor cabang dengan nama dan bentuk apa pun
masing-masing dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak oleh KKP setempat.
Akhirnya penyerahan BKP dari kantor pusat ke kantor cabang atau sebaliknya dan
penyerahan antarcabang dikenakan pajak.
- G. Penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi
Dalam
hal penyerahan secara konsinyasi, Pajak Petambahan Nilai yang sudah dibayar
pada waktu Barang Kena Pajak yang bersangkutan diserahkan untuk dititipkan
dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak terjadinya penyerahan
Barang Kena Pajak yang dititipkan tersbut. Sebaliknya, jika Barang Kena Pajak
titipan tersebut tidak laku dijual dan diputuskan untuk dikembalikan kepada
pemilik Barang Kena Pajak, Pengusaha yang menerima titipan tersebut dapat
menggunakan ketentuan mengenai pengambilan Barang Kena Pajak (retur).
Penyerahan
BKP kepada pedagang perantara terutang PPN. Yang dimaksud pedagang perantara
adalah pengusaha dengan nama atau bentuk apa pun yang melakukan usaha
perdagangan perantara termasuk pedagangan dalam konsinyasi, kecuali makelar
yang diangkat dan disumpah oleh Departemen Kehakiman sebagaimana dimaksud dalam
pasal 62 Kitab Undang-undang Hukum Dagang.
Pajak
Pertambahan Nilai (Pajak Keluaran) harus dipungut oleh PKP tang bersangkutan
pada saat penyerahan BKP kepada Pedagang Konsinyasi.
- Penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.
Contoh:
Dalam
transaksi murabahah, Bank Syariah bertindak sebagai penyedia dana untuk membeli
sebuah kendaraan bermotor dari Pengusaha Kena Pajak A atas pesanan nasabah Bank
Syariah harus membeli dahulu kendaraan bermotor tersebut dan kemudian menjualnya
kepada Tuan B, berdasarkan Undang – Undang ini, penyerahan kendaraan bermotor
tersebut dianggap dilakukan langsung oleh Pengusaha Kena Pajak A kepada Tuan B.
Penyerahan
Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan
yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap
langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena
Pajak ini peraturannya sudah dihapuskan.
Jenis
perhitungan berdasarkan prinsip syariah adalah:
-
Pendekatan Revenue
Sharing (bagi hasil/pendapatan)
Pendekatan
ini merupakan perhitungan bagi hasil yang didasarkan pada pendapatan yang
didapat (laba kotor), artinya pendapatan yang didapat sebelum dikurangi dengan
biaya – biaya usaha.
-
Pendekatan Profit
Sharing (bagi laba)
Pendekatan
ini memiliki pengertian bahwa perhitungan bagi hasil didasarkan pada laba
bersih, yaitu pendapatan yang dapat dikurangi dengan biaya usaha dan lain –
lain.
Menurut
UU No. 42 Tahun 2009 Pasal 1 Ayat 7 Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap
kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak. Berikut ini akan diuraikan mengenai
pengenaan PPN atas beberapa jasa
- A. Jasa Kustodian
Jasa
kustodian merupakan jasa yang dilakukan oleh bank yang dapat berupa jasa
penitipan, jasa settlement, jasa aksi korporasi (corporate actions), dan jasa
registrasi. Jasa kustodian yang berupa jasa penitipan adalah jasa yang terutang
PPN. Sedangkan jasa kustodian yang berupa jasa settlement, jasa corporate
actions, dan jasa registrasi merupakan jasa yang dikecualikan dari pengenaan
PPN.
- B. Jasa Kena Pajak yang dibayar menggunakan kartu kredit/kartu debit
Berdasarkan
Surat Edaran No. 34/PJ.53/1995 Tanggal 1 Agustus 1995, jasa consumer credit,
credit card, dan debit card merupakan jenis jasa yang tidak dikenakan PPN,
sehingga atas penyerahannya tiak terutang PPN.
Atas
penyerahan Barang Kena Pajak atau JKP yang harganya dilunasi dengan menggunakan
fasilitas consumer credit atau credit card atau debit card, tetap terutang PPN
dan atau PPnBM sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
- C. Jasa Angkutan dan Jasa Ekspedisi Muatan
Surat
Direktur Jenderal Pajak No. S-426/PJ.53/1996 Tanggal 13 Februari 1996
menyatakan bahwa jasa angkutan umum di darat, laut, udara, maupun sungai yang
dilakukan oleh pemerintah maupun oleh swasta, dan jasa angkutan udara luar
negeri, termasuk di dalamnya jasa angkutan dalam negeri yang menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan umum di laut, danau, sungai adalah
dikategorikan sebagai Jasa Kena Pajak, sehingga penyerahannya terutang PPN.
Sebagai contoh, jasa Ekspedisi Muatan Kapal laut dan Udara (EMKL dan EMKU)
adalah Jasa Kena Pajak sehingga penyerahannya terutang PPN.
Dalam
penjelasan Pasal 4 ayat (1q) huruf c, dinyatakan bahwa:
Pengusaha
yang melakukan kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak meliputi baik pengusaha yang
telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3A ayat (1) maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak, tetapi belum dikukuhkan.
Termasuk
dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak adalah Jasa Kena Pajak yang
dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dan/atau yang diberikan secara cuma –
cuma.
- Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
Menurut
penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf d, untuk dapat memberikan perlakuan pengenaan
pajak yang sama dengan impor Barang Kena Pajak, atas Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapa pun
di dalam Daerah Pabean juga dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
Contoh:
Pengusaha
A yang berkedudukan di Jakarta memperoleh hak menggunakan merek yang dimiliki
Pengusaha B yang berkedudukan di Hongkong. Atas pemanfaatan merek tersebut oleh
Pengusaha A di dalam Daerah Pabean terutang Pajak Pertambahan Nilai.
- Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
Dalam
penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf e, dinyatakan bahwa:
Jasa
yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapapun di dalam
Daerah Pabean dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
Misalnya,
Pengusaha Kena Pajak C di Surabaya memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari Pengusaha
B yang berkedudukan di Singapura. Atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak tersebut
terutang Pajak Pertambahan Nilai.
- Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak
Menurut
penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf f, berbeda dengan Pengusaha yang melakukan
kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan/atau huruf c, Pengusaha yang
melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud hanya Pengusaha yang telah
dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A
ayat (1)
- Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak
Dalam
penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf g dinyatakan bahwa:
Sebagaimana
halnya dengan kegiatan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, pengusaha yang
melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud hanya pengusaha yang telah
dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A
ayat (1).
Yang
dimaksud dengan “Barang Kena Pajak Tidak Berwujud” adalah:
1. Penggunaan
atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian, atau karya
ilmia, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek
dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa
lainnya.
2. Penggunaan
atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah.
3. Pemberian
pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau
komersial
4. Pemberian
bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan
hak – hak tersebut pada angka 1, pengunaan atau hak menggunakan
peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau
informasi tersebut pada angka 3, berupa:
a. Penerimaan
atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang
disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau
teknologi yang serupa
b. Penggunaan
atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk
siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel,
serat optik atau teknologi yang serupa
c. Penggunaan
atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi
5. Penggunaan
atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita
video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio
6. Pelepasan
seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian
hak kekayaan intelektual/industrial atau hak – hak lainnya sebagaimana tersebut
di atas.
- Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak
Menurut
penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf h, termasuk dalam pengertian ekspor Jasa Kena
Pajak adalah penyerahan Jasa Kena Pajak dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah
Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor Barang
Kena Pajak Berwujud atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas
petunjuk dari pemesanan di luar Daerah Pabean.
II.
Penyerahan
Tidak Kena Pajak
Menurut UU No.
42 Tahun 2009 Pasal 1A Ayat 2
yang tidak termasuk dalam pengertian
penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
- Penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang – Undang Hukum Dagang
Yang
dimaksud dengan “makelar” adalah makelar sebagaimana dimaksud dalam kitab
Undang – Undang Hukum Dagang, yaitu pedagang perantara yang diangkat oleh
presiden atau oleh pejabat yang oleh presiden dinyatakan berwenang untuk itu.
Mereka menyelenggarakan perusahaan mereka dengan melakukan pekerjaan dengan
mendapat upah atau provisi tertentu, atas amanat dan atas nama orang – orang
lain yang dengan mereka tidak terdapat
hubungan kerja.
- Penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang
- Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak terutang
Dalam
hal Pengusaha Kena Pajak mempunyai lebih dari satu tempat kegiatan usaha, baik
sebagai pusat maupun cabang perusahaan, dan Pengusaha Kena Pajak tersebut telah
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak,
pemindahan Barang Kena Pajak dari satu tempat kegiatan usaha ke tempat kegiatan
usaha lainnya (pusat ke cabang atau sebaliknya atau antarcabang) dianggap tidak
termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak, kecuali pemindahan
Barang Kena Pajak antartempat pajak terutang.
- Pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak
Yang
dimaksud dengan “pemecahan usaha” adalah pemisahan usaha sebagaimana dimaksud
dalam Undang – Undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas.
- Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.
Barang
Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, yang Pajak
Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan karena tidak mempunyai
hubungan langsung dengan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(8) huruf b dan/atau aktiva berupa kendaraan bermotor sedan dan station wagon
yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf c tidak termasuk dalam pengertian
penyerahan Barang Kena Pajak. (Pasal 1A UU No. 42 Tahun 2009 dan
penjelasannya).
III.
Dasar
Pengenaan Pajak
Berikut ini
adalah penjelasan mengenai Dasar Pengenaan Menurut UU No. 42 Tahun 2009
Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai
Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang
terutang.
Menurut Mardiasmo (2002 : 215) untuk
menghitung besarnya pajak yang terutang adalah “adanya dasar pengenaan pajak
(DPP)”. Pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan
Dasar Pengenaan Pajak. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual atau
Penggantian atau Nilai Impor atau Nilai Ekspor atau Nilai Lain yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung
pajak yang terutang.
Pajak yang
merumuskan bahwa DPP adalah jumlah Harga Jual, Nilai Penggantian, Nilai Impor,
Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak
yang terutang.
- Harga Jual
Menurut UU No. 42 Tahun 2009 Pasal 1
angka 18 Harga Jual adalah nilai berupa uang termasuk semua
biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan
Barang Kena Pajak, tidak termasuk PPN yang dipungut berdasarkan Undang – Undang
ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak
Contoh :
Pengusaha Kena Pajak "A" menjual Barang Kena Pajak dengan Harga Jual
Rp25.000.000,00. ditambah biaya pengiriman Rp. 1.000.000 dan biaya pemasangan
Rp. 750.000. Dasar Pengenaan Pajak adalah :
Harga jual
|
Rp
|
25.000.000
|
Biaya pengiriman
|
Rp
|
1.000.000
|
Biaya pemasangan
|
Rp
|
750.000
|
Dasar Pengenaan Pajak
|
Rp
|
26.750.000
|
PPN terutang = DPP x 10%
|
Rp
|
2.675.000
|
Pajak
Pertambahan Nilai sebesar Rp2.675.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran,
yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak "A".
- Nilai Penggantian
Menurut UU No. 42 Tahun 2009 Pasal 1
angka 19 Nilai Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk
semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena
penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang
dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam
Faktur Pajak, atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh
Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
Definisi
“Penggantian” ini memiliki 2 fungsi:
1.
Sebagai Dasar Pengenaan Pajak untuk
menghitung PPN yang terutang atas penyerahan JKP, ekspor JKP dan ekspor BKP
tidak berwujud (seharusnya termasuk penyerahan BKP tidak berwujud)
2.
Sebagai Dasar Pengenaan Pajak untuk
menghitung PPN yang terutang atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau
pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
Contoh :
PKP B melakukan
penyerahan Jasa Kena Pajak dengan memperoleh Penggantian Rp 20.000.000,00. Maka
DPP = Rp. 20.000.000 dan
Pajak
Pertambahan Nilai yang terutang = 10% x Rp20.000.000,00 = Rp2.000.000,00.
Pajak
Pertambahan Nilai sebesar Rp2.000.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran,
yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak "B".
- Nilai Impor
Menurut UU No. 42 Tahun 2009 Pasal 1
angka 20 Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi
dasar perhitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam
peraturan perundang – undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai
untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut menurut Undang – Undang ini.
Dari
definisi tersebut ditentukan bahwa dalam Nilai Impor sudah termasuk pungutan
berdasarkan peraturan perundang – undangan yang mengatur mengenai kepabeanan
dan cukai. Berarti Nilai Impor sudah termasuk Bea Masuk, dan Cukai apabila
terutang Cukai. Dari definisi ini diperoleh rumus nilai impor sebagai berikut:
|
CIF
merupakan akronim dari Cost, Insurance, dan Freight yang diterjemahkan menjadi
Harga Patokan Impor.
Contoh:
PT Variasi
mengimpor sejumlah DVD Charger mobil dari Jepang dengan Harga Patokan Impor
(CIF) Rp 1.000.000.000,00. Terutang Bea Masuk 50%.
Dasar
Pengenaan Pajak untuk menghitung PPN dan PPnBM yang terutang dihitung sebagai
berikut:
CIF (Harga
Patokan Impor)
|
Rp
|
1.000.000.000,00
|
Bea Masuk
50% x Rp 1.000.000.000,00
|
Rp
|
500.000.000,00
|
Nilai
Impor (Dasar Pengenaan Pajak)
|
Rp
|
1.500.000.000,00
|
Berdasarkan
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-35/PJ.322/1990 tanggal 15
November 1990 ditegaskan bahwa dalam hal terjadi under invoicing atas impor, DPP akan dikoreksi berdasarkan Harga
Pasar Wajar yang diminta oleh importir atau distributor, yang pada umumnya akan
diketahui pada mata rantai jalur distribusi berikutnya. PPN dan PPnBM yang
kurang dibayar sebagai akibat under
invoicing dapat ditagih pada setiap mata rantai jalur distribusi yang
melakukan praktik under invoicing.
- Nilai Ekspor
Menurut UU No. 42 Tahun 2009 Pasal 1
angka 26 Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua
biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir. Nilai Ekspor
tercantum pada dokumen ekspor yang disebut Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB)
- Nilai Lain
Nilai Lain
sebagai Dasar Pengenaan Pajak diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.03/2010 tanggal 31 Maret 2010
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38
/PMK.011/2013 tanggal 27 Februari 2013 tentang Nilai Lain sebagai Dasar
Pengenaan Pajak.
Peraturan
Menteri Keuangan ini telah diubah untuk yang kedua kalinya dengan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 121/PMK.03/2015 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2015.
Berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan tersebut ditetapkan jenis dan macam Nilai Lain
sebagai Dasar Pengenaan Pajak sebagai berikut:
1.
Untuk pemakaian sendiri BKP dan/atau
JKP adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor.
2.
Untuk pemberian cuma – cuma Barang
Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak adalah Harga Jual atau Penggantian setelah
dikurangi laba kotor.
3.
Untuk penyerahan film cerita adalah
perkiraan hasil rata –rata per judul film (selain film impor).
4.
Untuk penyerahan produk hasil
tembakau adalah sebesar Harga Jual eceran.
5.
Untuk Barang Kena Pajak berupa
persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan adalah
harga pasar wajar.
6.
Untuk penyerahan Barang Kena Pajak
dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak
antar cabang adalah Harga Pokok penjualan atau Harga Perolehan.
7.
Untuk penyerahan Barang Kena Pajak
melalui pedagang perantara adalah harga yang disepakati antara pedagang
perantara dengan pembeli.
8.
Untuk penyerahan Barang Kena Pajak
melalui juru lelang adalah harga lelang
9.
Untuk penyerahan jasa pengiriman
paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau jumlah yang
seharusnya ditagih.
10. Untuk
penyerahan jasa biro perjalanan wisata dan/atau jasa agen perjalanan wisata
berupa penyerahan paket wisata, pemesanan sarana angkutan, dan pemesanan sarana
akomodasi, yang penyerahannya tidak didasari pada pemberian komisi/imbalan atas
penyerahan jasa perantara penjualan, adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah
tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.
11. Untuk
penyerahan jasa pengurusan transportasi (freight
forwarding) yang di dalam tagihan jasa pengurusan transportasi tersebut
terdapat biaya transportasi (freight
charges) adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau
seharusnya ditagih.
IV.
Pemakaian
sendiri/pemberian cuma – cuma Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha
Kena Pajak
KEP - 87/PJ./ Menurut
pasal 1 KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR 2002,
Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak adalah pemakaian untuk kepentingan
Pengusaha sendiri, Pengurus, atau diberikan kepada anggota keluarganya atau
karyawannya, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, selain
pemakaian Barang Kena Pajak untuk tujuan produktif. Pemakaian sendiri Barang
Kena Pajak dan atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif adalah
pemakaian Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan
untuk kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang mempunyai hubungan
langsung dengan kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan.
Sedangkan, Pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak
adalah pemberian yang diberikan tanpa imbalan pembayaran baik barang produksi
sendiri maupun bukan produksi sendiri, termasuk pemberian contoh barang untuk
promosi kepada relasi atau pembeli. Pemberian cuma-cuma Jasa Kena Pajak adalah
pemberian Jasa Kena Pajak yang dilakukan kepada pihak lain tanpa imbalan
pembayaran.
Kategori Pemakaian
Sendiri BKP
Terkait
dengan soal pemakaian sendiri BKP tersebut, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1
Tahun 2012 menjelaskan bahwa istilah pemakaian sendiri tidak hanya berlaku
untuk BKP tetapi juga berlaku untuk Jasa Kena Pajak (JKP). Satu hal yang
menurut praktisi pajak tidak sesuai dengan UU PPN dan sangat bertentangan
dengan asas pengenaan pajak sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 23A UUD 1945.
PP
Nomor 1 Tahun 2012 membedakan pemakaian sendiri BKP/JKP ke dalam dua kelompok.
Pertama kelompok pemakaian sendiri untuk tujuan produksi selanjutnya atau untuk
kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan usaha (untuk tujuan produktif) dan
kelompok kedua adalah pemakaian sendiri untuk tujuan konsumtif atau untuk
kegiatan yang tidak berhubungan dengan usaha.
Contoh
pemakaian sendiri BKP yang tergolong sebagai pemakaian sendiri untuk tujuan
produktif, yang disebutkan dalam PP Nomor 1 Tahun 2012 antara lain:
·
Pabrikan minyak kelapa
sawit menggunakan limbahnya berupa kulit dari inti kelapa sawit sebagai bahan
pembakaran boiler dalam proses pabrikasi.
·
Pabrikan kayu lapis
(plywood) menggunakan hasil produksinya berupa kayu lapis (plywood) untuk
membungkus kayu lapis (plywood) yang akan dipasarkan agar tidak rusak.
·
Perusahaan
telekomunikasi menggunakan sambungan saluran teleponnya untuk melakukan
penyerahan jasa provider internet kepada konsumennya (contoh JKP).
·
Pabrikan truk
mempergunakan sendiri truk yang diproduksinya untuk kegiatan usaha mengangkut
suku cadang.
·
Pabrikan minyak kelapa
sawit menggunakan limbahnya berupa kulit dari inti sawit sebagai pengeras jalan
di lingkungan pabrik.
·
Perusahaan
telekomunikasi menggunakan saluran teleponnya untuk kegiatan operasional
perusahaan dalam berkomunikasi dengan mitra bisnisnya.
Sementara
untuk kelompok pemakaian sendiri BKP/JKP untuk tujuan konsumtif, PP Nomor 1
Tahun 2012 memberikan contoh-contoh berikut:
·
Pabrikan minuman ringan
menggunakan hasil produksinya untuk konsumsi karyawan atau para tamu.
·
Pabrikan sepatu dalam
rangka promosi membeli topi dengan logo merek sepatu pabrik tersebut dan
sebagian dibagikan kepada karyawannya.
·
Perusahaan telekomunikasi
selular memberikan fasilitas bebas biaya telepon selular kepada para
direksinya.
Terutang PPN
Pemakaian
sendiri BKP maupun JKP yang bersifat konsumtif (tidak berhubungan langsung
dengan proses produksi selanjutnya atau tidak berhubungan dengan kegiatan usaha
produksi, distribusi, manajemen dan pemasaran) merupakan penyerahan yang
terutang PPN. Ini berarti terhadap pemakaian sendiri tersebut harus diterbitkan
Faktur Pajak di mana Faktur Pajak atas pemakaian sendiri ini berfungsi sebagai
Pajak Keluaran (PK) dan sekaligus sebagai Pajak Masukan (PM). Akan tetapi perlu diingat bahwa PM tersebut
tidak dapat dikreditkan di SPT Masa PPN.
Tarif
PPN untuk pemakaian sendiri ini sama seperti yang lainnya, yaitu 10%. Tetapi
khusus untuk DPP atau dasar pengenaan pajaknya, yang dipakai sebagai DPP adalah
Harga Jual (untuk BKP) atau Penggantian (untuk JKP) setelah dikurangi dengan
laba kotor [Pasal 2 huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.03/2010].
Orang banyak yang menyebut DPP ini dengan Harga Perolehan atau Harga Pokok
Produksi (cost of prodution).
Harga
Perolehan digunakan apabila BKP atau JKP yang dipakai sendiri itu bukan hasil
produksi sendiri. Misalnya seperti pabrikan sepatu yang membeli topi untuk
promosi dan kemudian sebagian dari topi itu diberikan kepada pegawainya.
Sedangkan
Harga Pokok Produksi digunakan apabila BKP atau JKP yang dipakai sendiri itu
merupakan hasil produksi sendiri. Misalnya pabrikan sepatu memberikan sepatu
hasil produksinya kepada para pegawai atau direksinya.
Karena
DPP untuk pemakaian sendiri ini menggunakan Nilai Lain, maka Faktur Pajak yang
dibuat nantinya menggunakan kode 04. Selain itu, dalam Faktur Pajak tersebut
kolom identitas pembeli atau penerima BKP/JKP diisi dengan identitas pengusaha
sendiri (sama dengan kolom penjual atau pihak yang menyerahkan BKP/JKP).
Penyetoran
PPN (Pajak Keluaran/PK) atas pemakaian sendiri BKP dan JKP ini tidak dilakukan
secara tersendiri tetapi digabungkan dengan PPN dari Faktur Pajak lainnya (ikut
mekanisme umum PK minus PM).
Bersifat Produktif
Pemakaian
sendiri BKP maupun JKP yang bersifat produktif (untuk digunakan dalam proses
produksi selanjutnya atau digunakan untuk kegiatan usaha produksi, distribusi,
manajemen dan pemasaran) menurut PP Nomor 1 Tahun 2012 sebenarnya juga terutang
PPN. Namun, seperti yang diutarakan oleh memori penjelasan Pasal 5 PP Nomor 1
Tahun 2012 tersebut, untuk memmberikan kemudahan administrasi pelaporan dan
penghitungan kepada pengusaha, atas pemakaian sendiri BKP/JKP untuk tujuan
produktif seperti ini tidak perlu dibuatkan Faktur Pajak dan PPN-nya pun tidak
perlu disetorkan. Sebab PPN yang disetorkan itu nantinya akan menjadi PK
sekaligus PM yang dapat dikreditkan. Jadi jika di-nett-off-kan akan menjadi Rp
0,-.
Akan
tetapi lain ceritanya jika pemakaian sendiri yang bersifat produktif tersebut
terkait dengan kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang PPN atau
mendapat fasilitas pembebasan PPN. Dalam hal ini meski bersifat produktif, atas
pemakaian sendiri BKP/JKP tersebut tetap harus dibuatkan Faktur Pajak dan PPN
maupun PPn-BM-nya tetap harus disetorkan ke kas negara (sama seperti pemakaian
sendiri yang bersifat konsumtif).
Misalnya
PT ABC memproduksi mobil Esemka tipe sedan. Di samping itu, PT ABC juga
mempunyai lini usaha perusahaan taksi umum. Beberapa unit mobil sedan Esemka
yang dihasilkannya tersebut kemudian digunakan oleh PT ABC sebagai mobil
pelayanan service mobil keliling dan beberapa unit mobil lainnya dipakai
sebagai armada taksinya.
Terhadap
pemakaian sendiri mobil Esemka untuk kendaraan operasional service keliling
tidak perlu dibuatkan Faktur Pajak dan PPN maupun PPn-BM-nya pun tidak perlu
disetorkan ke kas negara.
Terhadap
pemakaian sendiri mobil Esemka untuk kendaraan taksi, harus dibuatkan Faktur
Pajak karena jasa angkutan umum (taksi) merupakan jasa yang atas penyerahannya
tidak terutang PPN. Dengan demikian, PPN maupun PPn-BM-nya harus disetorkan ke
kas negara.
V.
Penyerahan
Barang Kena Pajak dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya, atau antarcabang
sepanjang tidak mendapat izin pemusatan PPN terutang.
Menurut UU No. 42 Tahun 2009 Pasal 1A ayat 2 huruf c
bahwa “Dalam hal Pengusaha Kena Pajak
mempunyai lebih dari satu tempat kegiatan usaha, baik sebagai pusat maupun
cabang perusahaan, dan Pengusaha Kena Pajak tersebut telah menyampaikan pemberitahuan
secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak, pemindahan Barang
Kena Pajak dari satu tempat kegiatan usaha ke tempat kegiatan usaha
lainnya (pusat ke cabang atau sebaliknya atau antarcabang) dianggap tidak
termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak, kecuali pemindahan
Barang Kena Pajak antartempat pajak terutang.”
Penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang
adalah transaksi internal yang terjadi dalam diri PKP. Dalam transaksi tersebut
tidak ada pihak penjual maupun pembeli. Oleh karena itu sulit membuktikan bahwa
dalam transaksi tersebut terdapat unsur konsumsi. Jika demikian, pengenaan PPN
atas transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang adalah tidak
tepat, oleh karena tidak adanya unsur konsumsi yang harus dikenakan pajak.
Selain unsur konsumsi, adalah unsur nilai tambah (value added) yang menjadi
sasaran dalam pengenaan PPN. Sama halnya dengan unsur konsumsi , dalam
transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang, unsur nilai tambah
pun sulit ditentukan atau bahkan memang tidak ada nilai tambah yang muncul.
Dengan mengacu pada kesulitan didalam menentukan
adanya unsur konsumsi dan nilai tambah pada transaksi penyerahan Barang Kena
Pajak dari pusat ke cabang, pengenaan PPN atas transaksi tersebut bertolak
belakang dengan legal character PPN itu sendiri.
Pajak Pertambahan Nilai akan terutang ketika terjadi
suatu penyerahan Barang Kena Pajak. Oleh karena itu penyerahan barang menjadi
faktor penting didalam menentukan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Menurut
Williams, penyerahan suatu barang dianggap terjadi apabila dalam penyerahan
barang tersebut terjadi perpindahan kepemilikan atas suatu barang. Perpindahan
kepemilikan suatu barang menjadi kata kunci dalam transaksi penyerahan barang.
Dengan demikian dapat dipahami, untuk kepentingan pemajakan penyerahan barang
yang diikuti oleh adanya perpindahan kepemilikan dikenakan pajak.
Dalam kasus penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat
ke cabang atau sebaliknya adalah transaksi yang bersifat internal yang terjadi
dalam satu perusahaan. Dalam transaksi tersebut sama sekali tidak terjadi
perpindahan kepemilikan (transfer of
right) atas suatu barang, melainkan hanya sebatas perpindahan lokasi atau
tempat saja. Pengenaan PPN atas transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dari
kantor pusat ke cabang secara jelas tidak mengikuti teori dan konsep PPN yang
ada.
Dalam praktek di lapangan, ketentuan ini hanya
menimbulkan biaya yang harus ditanggung oleh pengusaha. PPN terutangnya sendiri
jika di cross akan nol, oleh karena menggunakan dasar pengenaannya adalah harga
pokok. Maksud di cross akan nol adalah bahwa adanya mekanisme pengkreditan PPN
PK – PM (Pajak Keluaran – Pajak Masukan). Namun untuk melakukan ini, PKP harus
mengeluarkan biaya administrasi yang tidak sedikit. Akibatnya seringkali PKP
tidak compliance terhadap aturan, karena menghindari adanya biaya yang
ditimbulkan. Sebagai contoh, showroom mobil merek tertentu, apabila memerlukan
mobil dari cabang lain, cabang lain tersebut tidak akan melakukan pembukuan
penyerahan, melainkan cukup dibuatkan nota pengiriman. Tujuannya menghindari
adanya administration cost. Hal ini tentu saja menjadi tidak benar dari sudut
compliance. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan bahwa memang secara
keseluruhan kalau di cross PPN akan nol, namun dari sisi administrasi ada biaya
yang harus dibayar oleh PKP, maka sebaiknya penyerahan Barang Kena Pajak dari
pusat ke cabang tidak dijadikan sebagai objek pajak.
VI.
Penyerahan
Media Rekaman Suara dan Gambar
Penyerahan produk
rekaman suara dan gambar sejak 1 Juli 2015 dikenai PPN berdasarkan harga
sebenarnya. Menteri Keuangan sudah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan nomor
121/PMK.03/2015 yang menghapus penyerahan rekaman suara atau gambar dari daftar
nilai lain.
Pengenaan
PPN atas Produk Rekaman Suara dan/atau Gambar
1.
PPN terutang atas
penyerahan produk rekaman suara dan/atau gambar hanya dikenakan sekali yaitu di
tingkat pabrikan dengan cara membubuhkan stiker lunas PPN pada setiap produk
rekaman suara dan/atau produk rekaman gambar.
2.
Penyalur/agen/outlet/pengecer
yang semata-mata melakukan penyerahan produk rekaman suara atau produk rekaman
gambar yang telah dibubuhi stiker lunas PPN tidak wajib dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan tidak wajib memungut serta menyetor pajak yang terhutang
serta tidak dapat mengkreditkan pajak masukannya.
3.
Penyalur/agen/outlet/pengecer
yang melakukan penyerahan produk rekaman suara atau produk rekaman dan
penyerahan BKP lain, seperti kaset, CD kosong dan pembersih kaset atau CD
(cleaner) tetap harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tidak perlu
lagi mengenakan PPN atas penyerahan produk rekaman suara/gambar yang telah
dibubuhi stiker lunas.
4.
Penyalur/agen/outlet/pengecer
yang telah dikukuhkan sebagai PKP tidak perlu lagi memungut PPN atas penyerahan
produk rekaman suara dan atau produk rekaman gambar yang telah dibubuhi stiker
lunas PPN.
KASUS DAN PEMBAHASAN
Harga Bahan Baku Mahal
dan Ekspor Lesu
Rabu, 22 Juni 2016
Para
perajin perhiasan perak di Bali menjerit, karena ekspor semakin lesu akibat
kondisi ekonomi global yang belum kondusif.
Di
samping harga perak sebagai bahan baku perhiasan semakin mahal, sehingga sulit
bersaing di pasaran luar negeri.
“Perajin
perhiasan perak di Bali umumnya sulit mendapatkan bahan baku berupa perak murni
produksi dalam negeri dengan harga bersaing,” kata Jro Mangku Kerti, seorang
pengusaha sekaligus eksportir perhiasan perak dan emas di Denpasar, Selasa
(21/6).
Perajin
perhiasan perak umumnya menerima pesanan dari mitra usaha di mancanegara,
dengan membawa rancangan yang disesuaikan pasar setempat, sekaligus membawa
perak sebagai bahan baku, sehingga perajin hanya memproduksinya saja.
Jro
Mangku Kerti mengatakan, mitra usahanya membawa perak murni dari negerinya
dengan bungkus warna biru, yang konon produksi Indonesia yang selama ini
dieskpor PT Antam (Pesero) Tbk UBPP Logam Mulia sebagai produsen emas dan perak
di Indonesia.
Pengusaha
perhiasan perak Bali umumnya membeli perak impor dengan harga sesuai tarif
internasional, yang jatuhnya jauh lebih murah dari pada harga di dalam negeri.
Dengan mendatangkan perak bahan baku perhiasan dari luar negeri maka harganya
bersaing. “Kami tidak bisa membeli perak serupa di dalam negeri karena harganya
lebih mahal dari impor,” tutur Jro Mangku yang dibenarkan rekannya Made
Subrata, yang menyebutkan pasaran ekspor perhiasan belakangan ini mengalami
kelesuan.
Badan
Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali mencatat, perdagangan ekspor khusus
perhiasan daerah ini merosot terus, karena menghasilkan devisa 4,9 juta dolar
AS selama April 2016, merosot hingga 24,71 persen jika dibandingkan periode
yang sama 2015 mencapai 6,6 juta dolar AS.
Untuk
bisa memulihkan kondisi perdagangan ekspor perhiasan di Nusantara termasuk
Bali, maka perlu ada uluran tangan pemerintah untuk menekan harga perak di
dalam negeri, paling sedikit sama dengan
harga internasional.
Pimpinan
Butik Emas Logam Mulia Denpasar, Nur Syahrini Dewi ketika dikonfirmasi
membenarkan, perak produksi PT Antam lebih banyak memenuhi pasaran ekspor, jika
dibandingkan permintaan dalam negeri tentu dengan harga yang standar
internasional.
PT
Antam (Pesero) Tbk mampu mengekspor sekitar sepuluh ton perak memenuhi
permintaan yang datang dari Thailand, Singapura maupun Australia selama 2015,
sedangkan selama Januari-Mei 2016, perak yang diperdagangkan ke luar negeri
sudah delapan ton.
Nur
Syahrini Dewi mengakui harga perak yang dilempar ke pasaran ekspor seharga Rp7
juta/ kilogram. Hal ini sesuai dengan perkembangan harga internasional,
sedangkan untuk di dalam baru 1,2 ton dengan harga Rp7,5 juta/kilogram.
Perusahaan
sebenarnya menjual perak sesuai harga internasional, hanya saja pembelian perak
di dalam negeri dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), sehingga jatuhnya
lebih mahal yang diterima para pengusaha perhiasan di Tanah Air.
PT
Antam (Pesero) Tbk sebenarnya berupaya menjual perak sesuai harga internasional
kepada semua pembeli, hanya saja pemerintah mengenakan PPN kepada pembeli di
dalam negeri, sedangkan untuk ekspor tidak, sehingga perak luar negeri
kelihatan murah.
Untuk
menggairahkan perajin dalam berproduksi memenuhi permintaan luar negeri, sudah
saatnya pemerintah duduk bersama produsen dan pengusaha kerajinan untuk bisa
menekan harga perak di dalam negeri, dengan menghapus pajaknya.
PEMBAHASAN KASUS
Isi
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 268/PMK.03/2015 Pasal 3
ayat 1 yang berbunyi:
“Pemberian
fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas impor dan/atau
penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a dan Pasal 1 ayat (2) huruf a
menggunakan Surat Keterangan Bebas Pajak Pertambahan Nilai untuk setiap kali
impor dan/atau penyerahan.”
Isi
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 268/PMK.03/2015 Pasal 4
ayat 1 yang berbunyi:
“Pengusaha
Kena Pajak yang melakukan impor dan/atau menerima penyerahan Barang Kena Pajak
tertentu yang bersifat strategis harus memiliki Surat Keterangan Bebas Pajak
Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) sebelum impor
dan/atau penyerahan.”
Masalah:
Perusahaan perak sebenarnya menjual
perak sesuai harga internasional, hanya saja pembelian perak di dalam negeri
dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), sehingga jatuhnya lebih mahal yang
diterima para pengusaha perhiasan di Tanah Air.
PT Antam (Pesero) Tbk sebenarnya
berupaya menjual perak sesuai harga internasional kepada semua pembeli, hanya
saja pemerintah mengenakan PPN kepada pembeli di dalam negeri, sedangkan untuk
ekspor tidak, sehingga perak luar negeri kelihatan murah.
Solusi:
Dengan
dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 268/PMK.03/2015 Pasal 3 ayat 1 tersebut,
berarti pengrajin bisa mendapatkan perak bahan baku perhiasan dengan harga yang
berlaku tanpa ditambah PPN seperti yang berlaku selama ini, apalagi di Denpasar
sudah ada Butik Emas Logam Mulia yang melayani masyarakat akan keperluan emas
dan perak.
Alangkah baiknya pemeritah lebih mengexplore
usaha-usaha dalam negri yang potensi perputaran ekonominya baik. Sehingga
meningkatkan minat industri-industri lainnya tumbuh. dengan adanya penghapusan
ppn tersebut bagi pembelian bahan pokok dan bahan pembantu lainya.
DAFTAR PUSTAKA
Sukardji,
Untung. 2015. Pajak Pertambahan Nilai Edisi Revisi 2015. Jakarta:PT
RAJAGRAFINDO PERSADA
www.ortax.org
http://rfconsultant.blogspot.co.id/2014/01/ppn-masukan-atas-pemakaian-sendiri.html#sthash.CH47fcTv.dpuf
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/116672-T%2024583-Tinjauan%20kebijakan-Analisis.pdf
Waluyo.2009.Akuntansi Pajak Edisi 2.Penerbit
Salemba Empat:Jakarta.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor
42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
penjualan atas Barang Mewah
Keputusan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 10/Kmk.04/2001tentang Pemberian Dan Penatausahaan Pajak
Pertambahan Nilai Dibebaskan Atas Impor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak
Tertentu Dan Atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu
https://www.slideshare.net/karomah95/ppn-dasar-pengenaan-pajak
Peraturan Menteri Keuangan nomor
121/PMK.03/2015
EmoticonEmoticon