Link presentasi untuk materi ini:
1. Daerah
Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan,
dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi
Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang
mengatur mengenai kepabeanan.
2. Barang
adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang
bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.
3. Barang
Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
4. Penyerahan
Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak.
5. Jasa
adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau
perbuatan hokum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak
tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang
karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
6. Jasa
Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
7. Penyerahan
Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak.
8. Pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
9. Impor
adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke dalam
Daerah Pabean.
10. Pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean.
11. Ekspor
Barang Kena Pajak Berwujud adalah setiap kegiatan mengeluarkan Barang Kena
Pajak Berwujud dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean.
12. Perdagangan
adalah kegiatan usaha membeli dan menjual, termasuk kegiatan tukar-menukar
barang, tanpa mengubah bentuk dan/atau sifatnya.
13. Badan
adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara
atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma,
kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi
massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk
badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
14. Pengusaha
adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha
atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang,
melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar
Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan
jasa dari luar Daerah Pabean.
15. Pengusaha
Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan
Undang-Undang ini.
16. Menghasilkan
adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk dan/atau sifat suatu
barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru
atau kegiatan mengolah sumber daya alam, termasuk menyuruh orang pribadi atau
badan lain melakukan kegiatan tersebut.
DEFINISI
DEFINISI PAJAK
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata cara Perpajakan,
“Pajak adalah
kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.”
Pengertian
pajak menurut P.J.A Andriani dalam Waluyo (2011:2) adalah sebagai berikut :
“Pajak
adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang
oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang)
dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang
gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas
negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”
DEFINISI PPN (PAJAK PERTAMBAHAN
NILAI)
Pajak Pertambahan Nilai
adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan
secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi.
DEFINISI PPnBM (PAJAK
PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH)
Pajak Penjualan atas
Barang Mewah adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu, Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah yang diekspor atau dikonsumsi di luar Daerah Pabean dikenai
Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif 0% (nol persen). Pajak Penjualan
atas Barang Mewah yang telah dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah yang diekspor tersebut dapat diminta kembali.
DAERAH PABEAN
Pengertian
Daerah Pabean adalah :
Wilayah
Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di
atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan
landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai
kepabeanan. (Pasal 1 ayat 1 UU no.42 tahun 2009)
Di dalam Daerah Pabean Republik Indonesia terdapat
wilayah yang apabila terjadi Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan Barang
Mewah, wilayah tersebut disebut Kawasan Berikat. Luas Kawasan Berikat tidak
sama.
Pengertian Kawasan Berikat adalah suatu bangunan,
tempat, atau kawasan dengan batas-batas tertentu yang di dalamnya dilakukan
kegiatan usaha industri pengolahan barang dan bahan, kegiatan rancang bangun,
perekayasaan, penyortiran, pemeriksaan awal, pemeriksaan akhir, dan pengepakan
atas barang dan bahan asal impor atau barang dan bahan dari dalam Daerah Pabean
Indonesia lainnya, yang hasilnya terutama untuk tujuan ekspor. (Peraturan
Pemerintah no 33 tahun 1996)
Kawasan berikat adalah
tempat menyimpan, penimbunan, dan pengolahan barang-barang yang berasal dari
dalam dan luar negeri. Suatu wilayah ditetapkan sebagai kawasan berikat
berdasarkan Keputusan Presiden dan diselenggarakan oleh BUMN.
Contoh kawasan berikat di Indonesia ialah sebagai berikut :
1) Di Cilincing (Jakarta), yang merupakan kawasan berikat terluas di
Indonesia.
2) Di Tanjung Emas, Export Processing Zone (TEPS) terdapat di
pelabuhan Tanjung Emas, Semarang.
SEJARAH
PPN DAN PPnBM
Secara
kronologis, sejarah perkembangan pemungutan PPN dan PPnBM di Indonesia
meliputi:
1. Pajak
Pembangunan I
Pajak
Pembangunan I atau PPb I dipungut secara resmi per 1 Juli 1947 atas usaha rumah
makan, penginapan dan penyerahan jasa di rumah makan. PPb I berstatus sebagai pajak
pusat yang menjadi pajak daerah sejak tahun 1957.
Pajak Pembangunan 1 ini kemudian diatur kembali
secara rinci dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 mengenai Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah , sebagaimana terakhir di atur dengan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 yang mengatur mengenai Pajak Hotel dan Restoran dengan tarif 10%.
2. Pajak
Peredaran Tahun 1950
Pajak
peredaran ini agak berbeda yaitu pengenaannya didasarkan atas penyerahan barang
dan jasa yang dilakukan di Indonesia. Dikenakannya secara berjenjang pada
setiap mata rantai jalur produksi dan jalur distribusi, menggunakan satu tarif
2,5% dan bersifat komulatif. Pemungutan pajak peredaran ini tidak berlangsung
lama.
3. Pajak
Penjualan
Undang-Undang
Darurat No. 19 tahun 1951 yang berlaku per 1 oktober 1951 selanjutnya menjadi
Undang-Undang No. 35 tahun 1953 sebagai dasar hukum pemungutan pajak penjualan
yang dikenal dengan Pajak penjualan 1951 (PPN 1951). Pemungutan Pajak Penjualan
1951 ini menggunakan single stage tax pada tingkat pabrikan (manufacturer’s
sales tax).
4. Pajak
Pertambahan Nilai
Sifat
kumulatif pada Pajak Penjualan 1951 direformasi dengan dikeluarkannya
Undang-Undang No. 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, yaitu pada saat reformasi sistem perpajakan
nasional. Karena pertimbangan kesiapan pelaksanaannya, maka secara efektif PPN
dan PPnBM berlaku per 1 april 1985. Ditinjau dari pengelompokannya, PPN ini
termasuk non commulative multi stage sales tax. Non commulative berarti
mekanisme pemungutan PPN dikenakan pada nilai tambah dari barang kena pajak dan
jasa kena pajak. Dengan Undang-Undang No. 11 tahun 1994 yang diberlakukan per 1
januari 1995 PPN dan PPnBM mengalami perubahan. Adanya perubahan atas Pajak
Penjualan menjadi Pajak Pertambahan Nilai dimaksudkan untuk menghindari
terjadinya pajak berganda yang dapat memudahkan terjadinya penggelapan
pajak.
DASAR
HUKUM PPN DAN
PPnBM
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18
Tahun 2000 yang tetap dinamakan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.
Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 jo.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000.
Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang
Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Peraturan Pemerintah Nomor 145 Tahun 2000 tentang
Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang Dikenakan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2006.
Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 tentang
Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan atau Penyerahan Jasa
Kena Pajak Tertentu yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2003.
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang
Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis
yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan
Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI (PPN)
KARAKTERISTIK
1. Merupakan
Pajak tidak langsung :
Yaitu
antara pemikul pajak ( destinaris pajak) dengan penanggung jawab atas
pembayaran pajak ke kas negara berada pada pihak yang berbeda. Pemikul beban
pajak ini secara nyata berkedudukan sebagai pembeli Barang Kena Pajak atau
penerima Jasa Kena Pajak.
Sedangkan
penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kas negara adalah Pengusaha Kena Pajak
yg bertindak sebagai penjual Barang Kena
Pajak atau Pengusaha Jasa Kena Pajak.
2. Pajak Objektif :
Yaitu timbulnya kewajiban untuk membayar Pajak
Pertambahan Nilai ditentukan oleh adanya Objek Pajak. Pajak Pertambahan Nilai
tidak membedakan antara konsumen berupa Orang Pribadi dengan Badan.
3. Multy
Stage Tax
a. Dikenakan
pada setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi.
b. Setiap
penyerahan barang yang menjadi objek PPN mulai dari tingkat pabrikan sampai
kepada tingkat pedagang pengecer dikenakan PPN.
4. Pajak yang di bayar ke kas negara di hitung
menggunakan Credit Method/ Invoice Method :
yaitu pajak yg harus dibayar ke kas negara
merupakan hasil perhitungan mengurangkan
PPN yg dibayar kepada PKP lain dinamakan Pajak Masukan dengan PPN yg dipungut dari pembeli atau penerima jasa
yg dinamakan Pajak Keluaran
Credit Method
Pada credit
method ini, harus dicari selisih antara pajak yang dibayar saat
pembelian dengan pajak yang dipungut saat penjualan. Hasil metode kredit lebih
akurat karena komponen harga beli dapat memiliki komponen yang tidak terutang
PPN. Metode ini juga disebut invoice method karena
menuntut alat bukti berupa faktur pajak (tax invoice).
Contoh:
BKP diserahkan dengan harga Rp
150.000.000 : PPN = Rp 5.000.000
BKP diperoleh dengan harga Rp
100.000.000 : PPN = Rp 10.000.000
Selisih PPN terutang : PPN = Rp
5.000.000
5. Merupakan
Pajak atas Konsumsi Umum Dalam Negeri :
Tujuan
akhir PPN adalah pengenaan pajak atas pengeluaran untuk konsumsi yang dilakukan
oleh perseorangan maupun oleh badan dalam bentuk belanja barang maupun jasa.
6. Pajak Pertambahan Nilai bersifat netral :
a. PPN
dikenakan baik atas konsumsi barang maupun jasa,
b. Tarif
yang dikenakan baik BKP atau JKP sama,
c. Dalam
pemungutannya, PPN menganut prinsip
tempat tujuan (destination principle) dan prinsip tempat asal ( origin
principle) .
7. PPN
tidak menimbulkan dampak Pengenaan Pajak Berganda
PPN
tidak dikenakan pada barang sama yang sebelumnya sudah dikenakan pajak lain,
seperti Pb 1.
8. Merupakan
pajak atas konsumsi barang dan jasa di daerah Pabean.
SISTEM DAN MEKANISME
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang
dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam
peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa Inggris, PPN disebut Value
Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST). PPN termasuk jenis pajak
tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang)
yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen
akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.
Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN
ada pada pihak pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena
Pajak yang disingkat PKP. Dalam perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP,
dikenal istilah pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang
dipungut ketika PKP menjual produknya, sedangkan pajak masukan adalah PPN yang
dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau membuat produknya.
Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN,
yaitu sebesar 10 persen. Dasar hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN
di Indonesia adalah Undang-Undang No. 8/1983 berikut revisinya, yaitu
Undang-Undang No. 11/1994 dan Undang-Undang No. 18/2000. Barang tidak kena PPN.
Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya.
Mekanisme PPN adalah mengurangkan Pajak Keluaran
(PK) dengan Pajak Masukan(PM). Pajak Keluaran adalah PPN yang harus dipungut
pada waktu menjual barang/jasa/barang tidak berwujud. Pajak Masukan adalah PPN
yang diperoleh pada waktu membeli barang/jasa/barang tidak berwujud.
Apabila dalam 1 masa pajak diperoleh :
·
PK > PM maka selisihnya adalah PPN
yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak (Ps 9(3)UU No.42 tahun 2009)
·
PK < PM maka selisihnya adalah PPN
yang lebih disetor dan dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya atau
direstitusikan (Ps 9(4),(4a),(4b)UU No.42 tahun 2009).
BARANG KENA PAJAK
Pada dasarnya semua barang merupakan barang kena
pajak, sehingga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kecuali jenis barang
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4A Undang-Undang No. 42/2009 tentang PPN dan
PPnBM.
Barang tidak kena PPN :
·
barang hasil pertambangan atau hasil
pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, meliputi:
4. asbes,
batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit,
dolomit, felspar
(feldspar), garam batu (halite), grafit,
granit/andesit, gips, kalsit,
kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan
kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat(phospat), talk, tanah serap (fullers
earth),tanah diatome, tanah liat, tawas (alum),tras, yarosif, zeolit, basal,
dan trakkit.
6. bijih
besi,
bijih timah,
bijih emas,
bijih tembaga,
bijih nikel,
bijih perak,
serta bijih
bauksit.
·
Barang-barang kebutuhan pokok yang
sangat dibutuhkan oleh masyarakat, meliputi:
1. beras
2. gabah
3. jagung
4. sagu
5. kedelai
7. daging,
yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih,
dikuliti, dipotong, didinginkan,dibekukan, dikemas atau tidak dikemas,digarami,
dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus
9. susu,
yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan,
tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak
dikemas
10. buah-buahan,
yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci,
disortasi, dikupas,dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak
dikemas
11. sayur-sayuran,
yaitu sayuran
segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah,
termasuk sayuran segar yang dicacah
·
makanan
dan minuman
yang disajikan di hotel,restoran,
rumah
makan, warung,
dan sejenisnya,meliputi makanan
dan minuman
baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan
dan minuman
yang diserahkan oleh usaha jasa
boga
atau katering.
JASA KENA PAJAK
Jasa kena pajak adalah setiap kegiatan pelayanan
berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang/
fasilitas/ kemudahan/ hak tersedia untuk dipakai, termasuk menghasilkan barang
berdasarkan pesanan dengan bahan dan petunjuk pemesan, yang dikenakan pajak
berdasarkan Undang-Undang PPN.
Diantaranya : Jasa konsultan, jasa sewa, jasa konstruksi, jasa perantara, dsb.
Diantaranya : Jasa konsultan, jasa sewa, jasa konstruksi, jasa perantara, dsb.
Pada dasarnya semua jasa merupakan Jasa Kena Pajak
(JKP), kecuali yang dinyatakan lain oleh Undang-Undang PPN itu sendiri. Jenis
jasa yang tidak dikenai PPN adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai
berikut:
Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa
tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:
a.
jasa pelayanan kesehatan medik;
b.
jasa pelayanan sosial;
c.
jasa pengiriman surat dengan perangko;
d.
jasa keuangan;
e.
jasa asuransi;
f.
jasa keagamaan;
g.
jasa pendidikan;
h.
jasa kesenian dan hiburan;
i.
jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
j.
jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa
angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
jasa angkutan udara luar negeri;
k.
jasa tenaga kerja;
l.
jasa perhotelan;
m.
jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka
menjalankan pemerintahan secara umum;
n.
Jasa penyediaan tempat parkir;
o.
Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
p.
Jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
q.
Jasa boga atau catering
PAJAK PENJUALAN
ATAS BARANG MEWAH (PPnBM)
KARAKTERISTIK
1.
Penyerahan Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut
di dalam daerah pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya
2.
PPnBM merupakan pungutan tambahan
BKP Mewah selain PPN. Oleh karena itu tidak
mungkin ada PPnBM tanpa PPN.
3.
PPnBM hanya dikenakan satu kali (yaitu
; pada saat impor atau pada saat penyerahan BKPMewah oleh Pengusaha Kena Pajak
Pabrikan).
4.
PPnBM tidak dapat dikreditkan, sehingga
diperlakukan sebagai biaya.
5.
Dalam hal BKP Mewah diekspor, PPnBM
yang dibayar pada saat perolehannya dapat diminta kembali/direstitusi.
SISTEM DAN MEKANISME
Mekanisme PPnBM diatur dalam pasal 5, Pasal 8 dan
Pasal 10 UU PPN, yang sama secara garis besar adalah sebagai berikut:
a. Atas
impor dan Penyerahan BKP yang tergolong Mewah oleh PKP yang menghasilkan BKP
yang tergolong Mewah tersebut disamping dikenakan PPN juga dikenakan PPnBM.
b. PPnBM
hanya dipungut satu kali, yaitu pada waktu Impor atau pada waktu menyerahkan
BKP yang tergolong Mewah tersebut oleh pabrikan.
c. PPnBM
tidak dapat dikreditkan baik terhadap PPN maupun terhadap PPnBM;
d. Tarif
PPnBM yang berdasarkan UU No. 8 Tahun 1983 berkisar antara 10% sampai dengan
35% dengan UU No. 11 Tahun 1994 diubah menjadi setinggi-tingginya 50% dan
dengan UIJ No. 18 Tahun 2000 diubah lagi menjadi setinggi-tingginya 75%.
e. Atas
ekspor BKP yang tergolong mewah dapat meminta kembali PPnBM yangtelah dibayar
pada waktu perolehan BKP yang tergolong mewah yang diekspor tersebut.
BARANG KENA PAJAK
Barang-barang yang tergolong mewah dan harus dikenai PPnBM
ialah:
·
Barang yang bukan merupakan barang kebutuhan
pokok
·
Barang yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat
tertentu
·
Barang yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat
berpenghasilan tinggi
·
Barang yang dikonsumsi hanya untuk menunjukkan
status atau kelas social
PENGUSAHA KENA PAJAK
Berdasarkan
Pasal 1 angka 15 UU PPN, Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan
penyerahan BKP dan/ atau penyerahan JKP yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN .
Pengusaha
yang melakukan kegiatan penyerahan BKP meliputi baik Pengusaha yang telah
dikukuhkan menjadi PKP maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhan menjadi PKP,
tetapi belum dikukuhkan. Penyerahan Barang yang dikenai pajak harus
memenuhi syarat syarat Sebagai berikut :
·
Barang
berwujud yang diserahkan merupakan BKP
·
Barang
tidak berwujud yang diserahkan merupakan BKP Tidak berwujud
·
Penyerahan
dilakukan di Daerah Pabean; dan
·
Penyerahan
dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya
Pengusaha
Kecil diperkenankan untuk memilih dikukuhkan menjadi PKP. Apabila pengusaha
kecil memilih menjadi PKP, UU PPN juga berlaku sepenuhnya bagi pengusaha kecil
tersebut. Namun bagi Orang Pribadi atau Badan (bukan PKP) yang memanfaatkan
BKP Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean, dan memanfaatkan JKP dari Luar
Daerah Pabean, wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang
dengan menggunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak (SSP) ke Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) yang wilayahnya meliputi tempat tinggal orang pribadi atau tempat
kedudukan badan tersebut paling lama akhir bulan berikutnya setelah saat
terutangnya pajak.
Pengertian Pengusaha Kecil
Dalam
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 197/PMK.03/2013 yang berlaku efektif
sejak 1 Januari 2014, Pengusaha kecil merupakan pengusaha yang selama 1 (satu)
tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Peredaran bruto
dan/atau penerimaan bruto sebagaimana dimaksud adalah jumlah keseluruhan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh
pengusaha dalam rangka kegiatan usahanya.
Penyerahan yang Dilakukan oleh Pengusaha Kecil
Atas
penyerahan BKP dan atau JKP yang dilakukan oleh Pengusaha Kecil tidak dikenakan
PPN, kecuali jika Pengusaha Kecil tersebut memilih untuk dikukuhkan menjadi
PKP. Pengusaha Kecil diperkenankan untuk memilih dikukuhkan menjadi PKP.
Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP wajib melaksanakan
ketentuan sebagaimana diwajibkan terhadap PKP pada umumnya. Ketentuan tidak
dikenakan PPN tidak berlaku apabila Pengusaha Kecil memilih untuk dikukuhkan sebagai
PKP.
Pengusaha yang Wajib Mendaftarkan Diri untuk Dikukuhkan
sebagai PKP
Pengusaha
kecil yang omsetnya telah melampaui batasan peredaran bruto (omzet) Rp 4,8
miliar sampai dengan suatu bulan dalam satu tahun buku, wajib melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan menjadi PKP paling lama akhir bulan berikutnya
setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi
Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Contoh
:
Bapak Meidi terdaftar di KPP Jakarta
Kebayoran Baru Dua memiliki toko onderdil mobil di Pusat Onderdil Fatmawati,
omset bulan Januari s.d. April 2014 mencapai Rp 4,5 miliar. Sementara omset
bulan Mei 2014 adalah Rp 400 Juta. Dengan demikian, batasan Pengusaha Kecil
telah terlampaui pada bulan Mei 2014, sehingga Bapak Meidi harus segera
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP kepada KPP Jakarta Kebayoran
Baru Dua selambat-lambatnya 30 Juni 2014.
Pengusaha yang Telah Melampaui Batasan Omset Rp 4,8 miliar Tetapi Tidak Melaporkan Usahanya untuk Dikukuhkan sebagai PKP
Pengusaha
kecil yang telah melampaui batasan omset Rp 4,8 miliar dapat dikukuhkan
secara jabatan, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak
dan/atau surat tagihan pajak untuk Masa Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan
secara jabatan sebagai Pengusaha Kena Pajak, terhitung sejak saat jumlah
peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Contoh:
Jika Bapak Meidi (seperti contoh diatas) tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP ke KPP Jakarta Kebayoran Baru Dua dan berdasarkan hasil ekstensifikasi pada bulan Desember 2014 diketahui bahwa batasan Pengusaha Kecil telah terlampaui pada bulan Mei 2014. Maka saat pengukuhan sebagai PKP terhitung sejak bulan Mei 2014 dan atas PPN terutang bulan Mei s.d. Nopember 2014 beserta sanksi bunga 2 % sebulan dari PPN terhutang.
Jika Bapak Meidi (seperti contoh diatas) tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP ke KPP Jakarta Kebayoran Baru Dua dan berdasarkan hasil ekstensifikasi pada bulan Desember 2014 diketahui bahwa batasan Pengusaha Kecil telah terlampaui pada bulan Mei 2014. Maka saat pengukuhan sebagai PKP terhitung sejak bulan Mei 2014 dan atas PPN terutang bulan Mei s.d. Nopember 2014 beserta sanksi bunga 2 % sebulan dari PPN terhutang.
Hak dan Kewajiban PKP
Pengusaha
yang melakukan penyerahan BKP dan atau penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean
dan/atau melakukan ekspor BKP Berwujud, ekspor JKP, dan/atau ekspor BKP Tidak
Berwujud diwajibkan:
1.
Melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP;
2.
Memungut
pajak yang terutang;
3.
Menyetorkan
PPN yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar dari Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan, serta menyetorkan PPnBM yang terutang; dan
4.
Melaporkan
penghitungan pajak dalam SPT Masa PPN.
Kewajiban untuk memungut,
menyetorkan dan melaporkan PPN dan PPnBM yang terhutang dimulai sejak saat
pengukuhan sebagai PKP.
Hak yang diperoleh jika telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak adalah:
a.
|
Pengkreditan
Pajak Masukan atas perolehan BKP/JKP;
Pajak
Masukan adalah PPN yang sudah dibayar oleh PKP karena memperoleh atau membeli
BKP dan/atau JKP. Kemudian Pajak Masukan tersebut dapat berfungsi
menjadi kredit atau pengurang pajak keluaran apabila PKP menjual barang.
Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut oleh PKP saat melakukan penyerahan
BKP dan/atau JKP.
|
b.
|
Restitusi
atau kompensasi atas kelebihan PPN. Apabila Pajak Masukan lebih besar
daripada Pajak Keluaran, maka PKP dapat mengajukan restitusi atau kompensasi.
Restitusi adalah permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, selain
restitusi PKP dapat melakukan kompensasi kelebihan Pajak Masukan untuk masa
pajak berikutnya.
|
KASUS DAN PEMBAHASAN
Uji
Materi UU PPN, Pemerintah Tegaskan Aturan Tidak Diskriminatif
Kamis,
23 Juni 2016 | 13:21 WIB
Mewakili Pemerintah, Kepala Biro
Bantuan Hukum Kementerian Keuangan Tio Serepina Siahaan saat menyampaikan
keterangan Pemerintah dalam sidang uji materi UU Pajak Pertambangan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Rabu (22/6) di Ruang
Sidang Pleno Gedung MK. Foto Humas/Ganie.
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji
materi Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang Undang No 42 Tahun 2009 Tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang mewah (PPN), Rabu
(22/6) di ruang sidang pleno MK. Agenda sidang perkara Nomor 39/PUU-XIV/2016
tersebut adalah mendengarkan keterangan Presiden dan DPR.
Mewakili Pemerintah, Kepala Biro Bantuan Hukum Kementerian
Keuangan Tio Serepina Siahaan menyatakan pasal yang diujikan Pemohon sifatnya
tidak membeda-bedakan dan berlaku bagi seluruh wajib pajak yang masih memiliki
hak dan kewajiban perpajakan, baik pribadi maupun badan hukum di dalam negeri
dan luar negeri. “Ketentuan ini bersifat equality before the law. Semua
sama di mata hukum dan tak ada diskriminasi sama sekali,” ujarnya dalam sidang
yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Selain itu, kata dia, pemerintah melalui aturan ini
bertujuan menjunjung tinggi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Dalil
Pemohon yang menyatakan diberlakukannya Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang
PPN mengakibatkan timbulnya perlakuan yang diskriminatif, dinilai Pemerintah
tidak beralasan menurut hukum. Sebab, ketentuan tersebut tidak bertentangan
dengan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
Sebelumnya, Doli Hutari sebagai ibu rumah tangga dan
konsumen komoditas pangan, serta Sutejo, pedagang komoditas pangan di Pasar
Bambu Kuning merasa dirugikan dengan diberlakukannya Pasal 4A ayat (2) huruf b
UU PPN. Para pemohon merasa mendapat perlakuan berbeda ketika akan mengakses
komoditas pangan, antara lain berupa komoditi pangan non beras, kacang-kacangan
lantaran komoditas tersebut dikenai PPN.
Pemohon menyatakan pengenaan PPN terhadap produk-produk
tersebut berimbas pada maraknya komoditas impor hasil selundupan yang tidak
membayar PPN dan bea masuk. Hal tersebut mengakibatkan disparitas harga sangat
jauh, sehingga produk tersebut menjadi kalah bersaing dengan komiditas pangan
ilegal.
Di sisi lain, Pemohon menilai penjelasan dalam pasal tersebut
hanya menyertakan 11 jenis kategori pangan yang tidak dikenakan PPN, sedangkan
komoditas lainnya dikenakan PPN. Ketentuan itu menyebabkan komoditas pangan di
luar 11 jenis tersebut menjadi lebih mahal. Efek lainnya juga membuat
kebutuhan pangan, gizi masyarakat, serta identitas kuliner bangsa
terancam tidak dapat dipenuhi. (ars/lul)
PEMBAHASAN
KASUS
Isi
UUD 1945 Pasal 28I Ayat 2, yang berbunyi :
“Setiap orang berhak bebas dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”
Isi
UU No 42 Tahun 2009 Pasal 4A Ayat 2, yang berbunyi :
“Jenis barang yang
tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok
barang sebagai berikut:
a. barang
hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
b. barang
kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
c. makanan
dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan
sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun
tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau
katering; dan
d. uang,
emas batangan, dan surat berharga.”
Penjelasan
Huruf B
Barang kebutuhan pokok
yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak meliputi:
a. beras;
b. gabah;
c. jagung;
d. sagu;
e. kedelai;
f. garam,
baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
g. daging,
yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih,
dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas,
digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus;
h. telur,
yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau
dikemas;
i.
susu, yaitu susu perah baik yang telah
melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula
atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
j.
buah-buahan, yaitu buah-buahan segar
yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas,
dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
k. sayur-sayuran,
yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada
suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.
MASALAH
Diduga
ada perlakuan diskriminasi hukum mengenai kebutuhan pokok apa saja yang tidak
dikenai PPN. Dalam UUD 1945 Pasal 28I Ayat 2 dijelaskan bahwa tidak boleh ada
perlakuan diskriminatif, tetapi dalam UU No 42 Tahun 2009 Pasal 4A Ayat 2 huruf
B membatasi apa saja kebutuhan pokok yang dikecualikan dari Barang Kena Pajak.
Hal ini tentunya memberikan kerugian bagi sebagian besar masyarakat mengenai
ketimpangan kebutuhan pokok yang lainnya.
SOLUSI
Dalam hal penjelasan kebutuhan
pokok yang dikecualikan dari Barang Kena Pajak sebaiknya tidak dibatasi. Pasalnya, penjelasan pasal tersebut
bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, sehingga tak berkekuatan hukum
mengikat alias harus dihapus. Pasal 4A ayat 2 huruf b itu menjelaskan kebutuhan
pokok yang masuk kriteria dibutuhkan rakyat banyak itu hanya 11 komoditas,
antara lain: beras, gabah, jagung, sagu, kedelai hingga sayuran.
Sedangkan
barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan rakyat banyak tak bisa dibatasi hanya 11
komoditas saja. Sebab, masih banyak jenis barang kebutuhan pokok lainnya di
luar itu, seperti kacang merah, kacang tanah, kacang hijau, termasuk
rempah-rempah. Ini artinya semua yang dibutuhkan rakyat banyak yang bersumber
dari hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, dan air
yang diambil dari sumbernya atau diolah paska panen, bukan hasil pengolahan
harus bebas PPN.
Dengan
tidak ada lagi pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas komoditas pangan,
maka harga produk kebutuhan pokok bakal turun. Hal ini tentunya membawa dampak
positif bagi masyarakat, tetapi memiliki dampak negative bagi pemerintah karena
penerimaan Negara atas Pajak akan menurun meskipun tidak signifikan.
Dalam
perkara ini pemohon menyatakan PPN terhadap produk-produk kebutuhan pangan di
luar 11 komoditas yang telah ditetapkan menyebabkan impor illegal atas produk
tersebut semakin marak. Hal ini merugikan petani dalam negeri.
Impor
ilegal yang notabene terhindar dari pengenaan PPN dan bea masuk menciptakan
disparitas harga produk yang sangat jauh. Akibatnya, produksi komoditas pangan
dalam negeri kalah saing dengan produk ilegal tersebut.
Menurut
MK, sedianya pasal tersebut tidak menjadi penghambat bagi warga dalam rangka
memenuhi hak untuk hidup sejahtera lahir batin dan berkualitas.
"Penjelasan
Pasal 4A ayat (2) huruf b UU 42/2009 berpotensi menimbulkan ketidakpastian
hukum," ujar Palguna, dalam sidang putusan yang digelar di MK, Selasa
(28/2/2017).
MK
juga menyarankan agar dibentuk peraturan pemerintah guna menghindari kerancuan
jenis barang apa saja yang tergolong sebagai barang kebutuhan pokok.
"Mengatur
lebih lanjut rincian mengenai jenis-jenis barang kebutuhan pokok yang sangat
dibutuhkan oleh rakyat banyak itu dalam Peraturan Pemerintah dan hal itu
tidaklah bertentangan dengan UUD 1945," kata Palguna.
Oleh
karena itu pemerintah sebaiknya memiliki alternative lain seperti meningkatkan
penerimaan Negara di bidang lainnya agar dengan dihapusnya PPN atas pangan
tidak akan berdampak terlalu besar. Karena kepentingan masyarakat selalu
menjadi prioritas utama dalam bernegara.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
2.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata cara Perpajakan,
- Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai.
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai.
6.
Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor. 35/Pmk.010/2017 Tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong
Mewah selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
7.
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor
120/PMK.04/2013 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
147/PMK.04/2011 Tentang Kawasan Berika
8.
Agung
Mulyo, Perpajakan Indonesia Seri PPN, PPnBM dan PPh Badan,
Mitra Wacana Media, Jakarta, 2009.
9.
Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 71 Tahun 2015 Tentang Penetapan Dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok
Dan Barang Penting
- Ortax.org
- Pajak.go.id
- Mahkamahkonstitusi.go.id
- kawasan-berikat.org
1 komentar so far
Prediksi Togel HK Mbah Bonar 12 Oktober 2020 Gabung sekarang dan Menangkan Hingga Ratusan Juta Rupiah !!!
EmoticonEmoticon