PKP JASA PENGIRIMAN BARANG

Tags

Link presentasi untuk materi ini:

PKP JASA PENGIRIMAN BARANG

  1. DASAR HUKUM
PKP Jasa Pengiriman Barang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 121/PMK.03/2015 Tentang Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak.
Nilai Lain yang dimaksud dalam Pasal 1 PMK 121/PMK.03/2015 yaitu suatu jumlah yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak.
Dasar Pengenaan Pajak yang dikenakan menurut Pasal 2 PMK 121/PMK.03/2015 adalah sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih.
Di dalam Pasal 3 PMK 121/PMK.03/2015 Pajak Masukan yang berhubungan dengan penyerahan Jasa Pengiriman Paket dalam Pasal 2 huruf j PMK 121/PMK.03/2015 yang dilakukan oleh pengusaha Jasa Pengiriman Paket tidak dapat dikreditkan. PKP yang menggunakan DPP Nilai Lain Pajak Masukan nya tidak bisa dikreditkan, karena jika bisa dikreditkan mengakibatkan PPN Lebih Bayar. Hanya mempunyai Pajak Keluaran, tetapi tidak boleh dikurangi Pajak Masukan. Dan seolah – olah telah mengakui Pajak Masukan yang 90% itu (sudah menikmati langsung di dalam 90% tadi).

  1. DASAR PENGENAAN PAJAK
       Dasar Pengenaan Pajak atas Jasa Pengiriman Paket adalah Nilai Lain yaitu 10% dari jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih.

PPN jasa pengiriman paket = 10% x 10% x jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih
 
 




      
Perhitungan Pajak Masukan dari Perolehan Jasa Pengiriman Paket tersebut tidak dapat dikreditkan lagi dan oleh karenanya tidak diperkenankan untuk dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Adapun beberapa PKP yang termasuk ke dalam jasa pengiriman paket yaitu JNE, TiKi, Pos Indonesia, First Logistics, Wahana Logistik, Si Cepat, J&T, dll

  1. CONTOH SOAL
CV Ekspress, sebuah perusahaan jasa pengiriman paket yang berlokasi di blagiran, mendapat order pengiriman barang dari Jakarta menuju ke surabaya dengan biaya pengiriman Rp3.500.000,00 dari PT okdeh.

PPN yang terutang atas transaksi ini adalah:
1% x Rp3.500.000,00 = Rp 35.000,00

Setiap PKP yang menggunakan DPP Nilai Lain. Tidak bisa dikreditkan, karena kalau bisa dikreditkan mengakibatkan lebih bayar. Hanya mempunyai Pajak Keluaran, tetapi tidak boleh dikurangi Pajak Masukan. Dan seolah – olah telah mengakui Pajak Masukan yang 90% itu (sudah menikmati langsung di dalam 90% tadi).
Mengingat PPN yang terutang adalah 1%, maka jumlah uang yang harus dibayar PT okdeh kepada CV Ekspress adalah:
Rp3.500.000,00 + Rp35.000,00 = Rp3.535.000,00
PPN Kurang Bayar : Rp 35.000,00
PPN Kurang Bayar ini disetor akhir bulan berikutnya (SPT nya) dilaporkan akhir bulan berikutnya.
Pajak Keluarannya : Rp 35.000,00


PKP JASA BIRO PERJALANAN

  1. DASAR HUKUM
PKP Jasa Biro Perjalanan diatur dalam Pengumuman Direktur Jenderal Pajak Nomor : PENG-139/PJ.63/1989 tanggal 27 Maret 1989 butir 3 huruf s dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-18/PJ.3/1989 tanggal 26 April 1989, yaitu kegiatan usaha yang dilakukan oleh Biro perjalanan Umum dan Agen Perjalanan.
Dalam rangka pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1988 khususnya yang menyangkut masalah pengenaan PPN atas Jasa Perusahaan Perjalanan, maka setelah memperhatikan saran dan pendapat dalam pertemuan antara ASITA (Association of the Indonesian Tours & Travel Agencies) atau Asosiasi Perusahaan Perjalanan Indonesia dengan Direktorat Jenderal Pajak c.q. Direktorat Pajak Tidak Langsung pada tanggal 11 dan 18 April 1989 maka dengan ini diberikan petunjuk sebagai berikut:
Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1988 maka Jasa Perusahaan Perjalanan adalah tergolong Jasa Kena Pajak. Oleh karena itu baik Biro Perjalanan Umum maupun Agen Perjalanan adalah Pengusaha Kena Pajak. Sesuai dengan Pengumuman Direktur Jenderal Pajak No.: PENG-139/PJ.63/1989 tanggal 27 Maret 1989 maka selambat-lambatnya tanggal 26 April 1989 mereka sudah harus melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
Kegiatan usaha Perusahaan Perjalanan pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut:
  1. Kegiatan yang dilakukan oleh Biro Perjalanan Umum yang antara lain terdiri dari:
a)      Membuat dan menjual produk Biro Perjalanan Umum sendiri yang berupa Paket Wisata, Komponen dari Paket Wisata terdiri dari tiket pesawat, akomodasi termasuk makan, angkutan darat/laut, jasa tour atau tour services (terdiri dari: menjemput dan mengantar tamu atau meeting service, mengurus dokumen re-ekspor barang atau handling service, dan jasa pendamping/penunjuk jalan atau guide service serta tontonan atau performance service)
Contoh : tiket pesawat, kapal laut, kereta dan sebagainya

b)      Menjualkan produk pihak lain seperti Paket Wisata luar negeri, tiket pesawat, kapal dan mengurus dokumen perjalanan dsb.
Contoh : Passport dan Visa.

c)      Mengorganisir konferensi atau Public Service Offering (PSO) :
Kegiatan ini tidak termasuk BKP maupun JKP.
Contoh : kereta, damri.
Misalnya ongkos bus damri sebesar Rp 8.000,00. Subsidi dari Pemerintah harusnya Rp 25.000,00 berubah menjadi Rp 17.000,00 dikarenakan ongkos damri yang akan dipungut kepada penumpang adalah sebesar Rp 8.000,00

  1. Kegiatan Agen Perjalanan yang dapat berupa:
a)      Menjual produk pihak lain seperti menjual Paket Wisata dalam maupun luar negeri, tiket pesawat, angkutan laut maupun kereta api dsb.
b)      Mengurus dokumen perjalanan dsb.
Dasar Pengenaan Pajak atas penyerahan Jasa Kena Pajak menurut Pasal 1 huruf p adalah penggantian yakni: Nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan jasa, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. Namun demikian mengingat jasa Perusahaan Perjalanan ini mempunyai sifat yang khusus yang antara lain menjualkan produk berupa jasa yang dikecualikan dari PPN, jasa yang sudah dikenakan PPN atau jasa yang akan dikonsumsi di luar negeri maka menerapkan Pasal 1 huruf p secara harfiah akan menyebabkan ketidakadilan serta menyebabkan persaingan yang tidak sehat yang bertentangan dengan asas netralitas yang dianut PPN. Seperti diketahui jasa angkutan udara dalam negeri telah dikenakan PPN atas seluruh harga tiket termasuk komisi untuk Biro Perjalanan, sedang jasa hotel, jasa angkutan darat/laut dikecualikan dari PPN. Sementara itu Paket Wisata luar negeri yang dijual di Indonesia pada dasarnya jasa tersebut akan dikonsumsi di luar negeri.
Sehubungan dengan itu untuk menghilangkan keraguan dan agar ada keseragaman dalam perhitungan PPN yang terutang serta untuk menghindarkan pengenaan pajak berganda dan menghindarkan pengenaan jasa yang seharusnya tidak terutang PPN maka ditetapkan pengaturan sebagai berikut:
  1. DASAR PENGENAAN PAJAK   
Dasar Pengenaan Pajak atas penjualan Paket Wisata baik dalam atau luar negeri, dan penjualan produk pihak lain seperti jasa angkutan udara/laut dan darat ditetapkan sebesar 10% dari nilai peredaran atau omzet (nilai invoice) tidak termasuk omzet dari penjualan tiket angkutan udara dalam negeri.
Dasar Pengenaan Pajak untuk kegiatan lainnya seperti pengurusan dokumen perjalanan, mengorganisir konferensi (PSO) adalah seluruh nilai peredaran atau omzet (nilai invoice) dikurangi dengan pungutan yang dibayar kepada Instansi Pemerintah yang besarnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.            
Perhitungan Dasar Pengenaan Pajak tersebut di atas sudah memperhitungkan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Dengan demikian maka Pajak Masukan dari Biro Perjalanan Umum maupun Agen Perjalanan tersebut tidak dapat dikreditkan lagi dan oleh karenanya tidak diperkenankan untuk dibebankan sebagai biaya perusahaan.
  1. PERHITUNGAN PPN
Perhitungan PPN yang terutang dan harus disetor adalah sebagai berikut:
Atas kegiatan penjualan Paket Wisata =
10% x 10% (nilai invoice - tiket angkutan udara dalam negeri) = Rp. X
Atas kegiatan lainnya seperti PCO =
10% x (nilai invoice - Pungutan yang dibayar kepada Instansi Pemerintah) = Rp. Y
PPN yang harus disetor = Rp. X + Y
Karena penerima Jasa Perusahaan Perjalanan pada umumnya konsumen perorangan maka kepada Perusahaan Pelayaran ini diizinkan membuat Faktur Pajak Sederhana yang dapat berupa business invoice yang bersangkutan atau kwitansi.
Saat terutangnya PPN adalah pada saat penagihan atau saat penerbitan invoice, yang sekaligus berfungsi sebagai Faktur Pajak Sederhana. Oleh karena itu, maka penyetoran dan pelaporan PPN pada akhir bulan berikutnya.







  1. CONTOH SOAL
Paket wisata dalam negeri :
1.      Tiket pesawat Soekarno Hatta – Ngurah Rai                   Rp 5.000.000,00
2.      Hotel                                                                                 Rp 3.000.000,00
3.      Akomodasi                                                                        Rp 2.000.000,00
Total tagihan                                                                     Rp 10.000.000,00
DPP              = 10% (Rp 10.000.000,00 – Rp 5.000.000,00)
                       = Rp 500.000,00
PPN               = 10% x Rp 500.000,00
                       = Rp 50.000,00
Total yang ditagihkan            = Rp 10.000.000,00 + Rp 50.000,00
                                               = Rp 10.050.000,00
Catatan :
Tiket pesawat dikurangkan karena Jasa Penerbangan Udara Dalam Negeri karena merupakan Non JKP. Kalau Jasa Penerbangan Udara Luar Negeri harga tiket dimasukkan untuk dikurangkan, dikarenakan Jasa Penerbangan Udara ke Luar Negeri merupakan Jasa Kena Pajak.
PPN tersebut disetor dan dilaporkan pada bulan berikutnya.


PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
(PPnBM)
  1. DASAR HUKUM
Ketentuan yang mengatur mengenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) mengalami beberapa kali perubahan terutama pada tingkat peraturan pelaksanaan. Dasar hukum pengenaan PPnBM dalam era setelah dengan UU No. 42 Tahun 2009 sebagai berikut:
a.       Pasal 5 dan Pasal 5A UU No. 42 Tahun 2009 (karakteristik dan tujuan pengenaan PPnBM)
b.      Pasal 8 UU No. 42 Tahun 2009 (tarif PPnBM)
c.       Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2014 (barang kena pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor yang dikenai pajak penjualan atas barang mewah)
d.      Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 33/PMK.010/2017 (perubahan atas peraturan menteri keuangan nomor 64/PMK.011/2014 tentang jenis kendaraan bermotor yang dikenai pajak penjualan atas barang mewah dan tata cara pemberian pembebasan dari pengenaan pajak penjualan atas barang mewah)
e.       Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia  Nomor 106/PMK.010/2015 (jenis barang kena pajak yang tergolong mewah selain kendaraan bermotor yang dikenai pajak penjualan atas barang mewah)
f.       Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2012 Pasal 9 (pola perhitungan PPN dan PPnBM)
g.      KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP - 229/PJ/2003 (tatacara pemberian dan penatausahaan pembebasan serta pengembalian pajak penjualan atas barang mewah atas impor atau penyerahan kendaraan bermotor)

  1. KARAKTERISTIK PPnBM
Menurut Pasal 5 dan Pasal 5A UU No. 42 Tahun 2009 Pajak Penjualan atas Barang Mewah memiliki karakteristik yang ada berbeda dengan Pajak Pertambahan Nilai, yaitu:
a.       PPnBM merupakan pungutan tambahan di samping PPN.
Sebagai pungutan tambahan berarti PPnBM memberi beban tambahan kepada konsumen. Hal seperti ini dimaksudkan supaya konsumen BKP yang Tergolong Mewah yang lazimnya adalah konsumen yang berpenghasilan tinggi, memikul beban pajak tambahan yang relatif lebih berat daripada konsumen yang berpenghasilan rendah yang lazimnya bukan konsumen BKP yang Tergolong Mewah. Oleh karena itu, tidak mungkin ada PPnBM tanpa PPN. Dengan adanya pungutan tambahan disamping PPN, maka kesenjangan beban pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi diharapkan dapat dipersempit.
b.      PPnBM hanya dikenakan satu kali, yaitu pada saat impor BKP yang Tergolong Mewah, atau pada saat penyerahan BKP yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pabrikan yang menghasilkan BKP yang Tergolong Mewah tersebut.
Pengenaan hanya satu kali, yaitu pada mata rantai jalur distribusi yang pertama, yang membedakan PPnBM dengan PPN. Walaupun sasaran PPnBM adalah memberi beban pajak tambahan kepada konsumen yang mengonsumsi BKP yang Tergolong Mewah, tetapi pengenaannya tidak pada mata rantai jalur distribusi yang paling dekat dengan konsumen, yaitu PKP pedagang eceran, disebabkan:
1)      Jumlah pedagang eceran relatif sangat jauh lebih banyak dibandingkan jumlah pabrikan sehingga akan menyulitkan pihak fiskus melakukan pengawasan
2)      Di satu sisi konsumen membeli kebutuhannya tidak selalu dari pedagang eceran, dan di sisi lain tidak mungkin pemerintah membuat peraturan yang melarang pedagang besar atau pabrikan menyerahkan BKP secara langsung kepada konsumen. Konsumen yang ingin menghindari beban PPnBM, akan memilih BKP yang Tergolong Mewah bukan dari pedagang eceran yang berakibat terjadi persaingan antara pedagang eceran dengan pedagang besar dan pabrikan yang dipengaruhi oleh PPnBM. Kondisi seperti ini menimbulkan distorsi dalam sistem PPN.
Apabila dikenakan berulang – ulang pada setiap mata rantai jalur produksi atau jalur distribusi, selain akan menimbulkan masalah dalam sistem PPN juga tidak perlu menggunakan nama PPnBM tetapi cukup PPN dengan tarif yang “spektakuler”. Karena akan ada tarif PPN sampai 200%. Di satu sisi akan merusak sistem PPN Indonesia,  di sisi lain tidak dapat menimbulkan dampak psikologis bagi konsumen, yaitu:
1)      Istilah PPnBM, mencerminkan bahwa yang dikonsumsi adalah barang mewah yang memiliki sifat eksklusif dan prestisius bagi konsumennya
2)      Sebaliknya, BKP yang dikenai PPN dengan tarif yang “spektakuler” tidak secara langsung bernuansa eksklusif dan prestisius.


c.       PPnBM tidak dapat dikreditkan dengan PPN atau dengan sesama PPnBM
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dikenakan hanya pada mata rantai jalur distribusi yang pertama, yaitu pada saat impor atau penyerahan BKP Yang Tergolong Mewah oleh Pabrikan yang menghasilkannya. Sementara itu, sasaran PPnBM adalah konsumen, maka tujuan memberi beban pajak tambahan kepada konsumen yang mengonsumsi BKP yang Tergolong Mewah tidak akan tercapai apabila PPnBM dapat dikreditkan karena PPnBM yang dibayar akan masuk kembali ke kas perusahaan pedagang besar. Oleh karena itu, dengan ditentukan bahwa PPnBM tidak dapat dikreditkan, maka PPnBM akan dibebankan sebagai biaya oleh PKP yang menyerahkan BKP yang Tergolong Mewah pada mata rantai jalur distribusi yang kedua, yaitu pedagang besar sehingga akan menjadi unsur Harga Jual yang diminta dari pembeli, yaitu PKP pada mata rantai jalur distribusi berikutnya yaitu pedagang eceran atau konsumen yang secara langsung membeli dari pedagang besar. Dengan pola seperti ini, maka PPnBM benar – benar menjadi beban tambahan bagi konsumen yang pada umumnya berpenghasilan tinggi yang mengonsumsi BKP yang Tergolong Mewah.
d.      Dalam hal BKP yang Tergolong Mewah di ekspor, maka PPnBM yang dibayar pada saat perolehannya dapat diminta kembali (restitusi)
Berbeda dengan PPN yang apabila tidak dapat dikreditkan, tidak mungkin dapat diajukan permintaan pengembalian meskipun BKP tersebut diekspor. Sebaliknya, meskipun PPnBM pada dasarnya tidak dapat dikreditkan, tetapi apabila BKP yang Tergolong Mewah tersebut diekspor, maka PPnBM yang dibayar berkaitan dengan perolehan BKP yang Tergolong Mewah yang berhubungan langsung dengan BKP yang Tergolong Mewah yang diekspor, maka PPnBM tersebut dapat diajukan permintaan pengembalian (restitusi)
Contoh:
PT Dina Eksporta telah dikukuhkan sebagai PKP. Pada suatu ketika PKP ini membeli 100 unit sedan dari PT Motor Persada selaku pabrikan. Harga Jual per unit sedan tersebut adalah Rp 200 Juta. Sehubungan dengan itu, PT Dina Eksporta dikenai PPN sebesar Rp 20 Juta dan PPnBM dengan tarif 30% sebesar Rp 60 Juta per unit. Sebelum seluruh sedan tersebut diekspor, oleh PT Dina Eksporta terlebih dahulu dilengkapi dengan asesoris berupa TV mobil, AC, dan DVD Changer, yang seluruhnya merupakan BKP yang Tergolong Mewah terutang PPN 10% dan PPnBM sebesar 20%.
Apabila ketiga macam perlengkapan elektronik tersebut dibeli dari pabrikan elektronik dengan Harga Jual per unit Rp 100 Juta, maka terutang PPN sebesar 10 Juta dan PPnBM sebesar Rp 20 Juta. Ketika 100 unit sedan tersebut diekspor, maka PT Dina Eksporta selain dapat mengajukan permintaan pengembalian seluruh PPN yang terkait, juga dapat mengajukan permintaan pengembalian PPnBM yang telah dibayar, yang dihitung sebagai berikut:
a.       PPnBM atas pembelian 100 unit sedan=
100 x Rp 60 Juta = Rp 6.000.000.000,00
b.      PPnBM atas pembelian perlengkapan elektronik sedan=
100 x Rp 20 Juta = Rp 2.000.000.000,00
Sifat khas PPnBM yang seperti ini sebagai refleksi dari penerapan tarif 0% atas ekspor BKP yang Tergolong Mewah dengan maksud untuk membersihkan komoditi ekspor benar – benar bersih dari PPnBM yang dibayar di dalam Daerah Pabean sehingga menunjang daya saing di negara tujuan.

  1. DEFINISI BKP YANG TERGOLONG MEWAH
Definisi BKP yang Tergolong Mewah yang dimasukkan melalui UU No. 18 Tahun 2000 ke dalam Penjelasan Pasal 5 UU PPN 1984 seharusnya dipindah ke Pasal 1 sehingga sistematika undang – undang ini menjadi lebih baik. Ternyata pemindahan ini tidak dilakukan. UU Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 5 hanya mengubah redaksional definisi BKP yang Tergolong Mewah menjadi sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan “Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah” adalah:
  1. Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok
  2. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu
  3. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat yang berpenghasilan tinggi
  4. Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status
Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tidak memperhatikan siapa yang mengimpor Barang Kena Pajak tersebut serta tidak memperhatikan apakah impor tersebut dilakukan secara terus-menerus atau hanya sekali saja.
Selain itu, pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap suatu penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tidak memperhatikan apakah suatu bagian dari Barang Kena Pajak tersebut telah dikenai atau tidak dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah pada transaksi sebelumnya.
Yang termasuk dalam pengertian menghasilkan pada ayat ini adalah kegiatan:
a.       merakit, yaitu menggabungkan bagian-bagian lepas dari suatu barang menjadi barang setengah jadi atau barang jadi, seperti merakit mobil, barang elektronik, dan perabot rumah tangga
b.      memasak, yaitu mengolah barang dengan cara memanaskan baik dicampur bahan lain maupun tidak
c.       mencampur, yaitu mempersatukan dua atau lebih unsur (zat) untuk menghasilkan satu atau lebih barang lain
d.      mengemas, yaitu menempatkan suatu barang ke dalam suatu benda untuk melindunginya dari kerusakan dan/atau untuk meningkatkan pemasarannya; dan
e.       membotolkan, yaitu memasukkan minuman atau benda cair ke dalam botol yang ditutup menurut cara tertentu; serta kegiatan lain yang dapat dipersamakan dengan kegiatan itu atau menyuruh orang atau badan lain melakukan kegiatan tersebut.

  1. LATAR BELAKANG PENGENAAN PPnBM DISAMPING PPN
  1. PPN berdampak regresif.
Semakin tinggi kemampuan konsumen, semakin ringan beban pajak yang dipikul. Untuk mengurangi regresivitas ini, terhadap konsumen yang mengkonsumsi BKP yang tergolong mewah dikenakan beban pajak tambahan yaitu PPnBM.
  1. Konsumsi BKP yang tergolong mewah bersifat kontraproduktif.
Hal ini merupakan upaya untuk mengurangi pola konsumsi tinggi yang tidak produktif dalam masyarakat.
  1. Produsen kecil dan tradisional menghadapi saingan berat dari komoditi impor.
Dengan motivasi ini, pengenaan PPnBM dimaksudkan untuk melindungi produsen kecil dan tradisional atau untuk tujuan proteksi
  1. Tuntutan peningkatan penerimaan negara dari tahun ke tahun.
Sebagai tulang punggung penerimaan negara, pajak memiliki posisi yang dominan. Tetapi tidak sepantasnya, PPnBM diberi fungsi budgetair. Pengenaan PPnBM disamping PPN, menimbulkan dampak positif berupa peningkatan penerimaan negara. Tetapi meningkatkan penerimaan negara, bukan tujuan pengenaan PPnBM. Dari tujuan pertama dan kedua terlihat dengan jelas, bahwa PPnBM hanya memiliki fungsi mengatur (regulerent) tidak memiliki fungsi budgetair.

  1. TARIF PPnBM
Menurut Pasal 8 UU No. 42 Tahun 2009 Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah yaitu:
1)      Ditetapkan paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen).
2)      Ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dikenai pajak dengan tarif 0% (nol persen).
3)      Ketentuan mengenai kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Pasal 2 yaitu:
1.                  Barang Kena Pajak berupa kendaraan bermotor dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah berdasarkan kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
2.                  Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 10% (sepuluh persen), adalah:
a.       kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 (sepuluh) orang sampai dengan 15 (lima belas) orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel atau semi diesel), untuk semua kapasitas isi silinder; dan
b.      kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel atau semi diesel) dengan sistem 1 (satu) gardan penggerak (4x2), dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1.500 cc.
3.                  Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen), adalah:
a.       kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel atau semi diesel), dengan sistem 1 (satu) gardan penggerak (4x2), dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1.500 cc sampai dengan 2.500 cc; dan
b.      kendaraan bermotor dengan kabin ganda (double cabin), dalam bentuk kendaraan bak terbuka atau bak tertutup, dengan penumpang lebih dari 3 (tiga) orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel atau semi diesel), dengan sistem 1 (satu) gardan penggerak (4x2) atau dengan sistem 2 (dua) gardan penggerak (4x4), untuk semua kapasitas isi silinder, dengan massa total tidak lebih dari 5 (lima) ton.
4.                  Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 30% (tiga puluh persen), adalah kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi, berupa:
a.       kendaraan bermotor sedan atau station wagon dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel atau semi diesel) dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1.500 cc; dan
b.      kendaraan bermotor selain sedan atau station wagon dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel atau semi diesel), dengan sistem 2 (dua) gardan penggerak (4x4), dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1.500 cc.
5.                  Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 40% (empat puluh persen) adalah kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi, berupa:
a.       kendaraan bermotor selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar cetus api, dengan sistem 1 (satu) gardan penggerak (4x2) dengan kapasitas isi silinder lebih dari 2.500 cc sampai dengan 3.000 cc;
b.      kendaraan bermotor dengan motor bakar cetus api, berupa:
1.      sedan atau station wagon; dan
2.      selain sedan atau station wagon dengan sistem 2 (dua) gardan penggerak (4x4),
dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1.500 cc sampai dengan 3.000 cc; dan
c.       kendaraan bermotor dengan motor bakar nyala kompresi (diesel atau semi diesel), berupa:
1.      sedan atau station wagon; dan
2.      selain sedan atau station wagon dengan sistem 2 (dua) gardan penggerak (4x4),
dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1.500 cc sampai dengan 2.500 cc.
6.                  Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) adalah semua jenis kendaraan khusus yang dibuat untuk golf.
7.                  Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 60% (enam puluh persen), adalah:
a.       kendaraan bermotor beroda dua dengan kapasitas isi silinder lebih dari 250 cc sampai dengan 500 cc; dan
b.      kendaraan khusus yang dibuat untuk perjalanan di atas salju, di pantai, di gunung, dan kendaraan semacam itu.
8.                  Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 125% (seratus dua puluh lima persen), adalah:
a.       kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api, berupa:
1.      sedan atau station wagon; dan
2.      selain sedan atau station wagon dengan sistem 1 (satu) gardan penggerak (4x2) atau dengan sistem 2 (dua) gardan penggerak (4x4),
dengan kapasitas isi silinder lebih dari 3.000 cc;
b.      kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar nyala kompresi (diesel atau semi diesel) berupa:
1.      sedan atau station wagon; dan
2.      selain sedan atau station wagon dengan sistem 1 (satu) gardan penggerak (4x2) atau dengan sistem 2 (dua) gardan penggerak (4x4),
c.       dengan kapasitas isi silinder lebih dari 2.500 cc;kendaraan bermotor beroda 2 (dua) dengan kapasitas isi silinder lebih dari 500 cc;dan
d.      trailer, semi-trailer dari tipe caravan, untuk perumahan atau kemah.

  1. MEKANISME PENGENAAN PPnBM ATAS KENDARAAN BERMOTOR
Menurut KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP - 229/PJ/2003 Pasal 1 yaitu:
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM) dikenakan atas:
a.       Impor Kendaraan CBU berupa kendaraan pengangkutan orang sampai dengan 15 (lima belas) orang termasuk pengemudi, kendaraan double cabin, kendaraan khusus, dan kendaraan bermotor beroda dua dengan kapasitas isi silinder lebih dari 250 CC;
b.      Penyerahan kendaraan hasil perakitan/produksi di dalam Daerah Pabean berupa kendaraan pengangkutan orang sampai dengan 15 (lima belas) orang termasuk pengemudi, kendaraan double cabin, kendaraan khusus, dan kendaraan bermotor beroda dua dengan kapasitas isi silinder lebih dari 250 CC;
c.       Penyerahan kendaraan bermotor berupa kendaraan pengangkutan orang sampai dengan 15 (lima belas) orang termasuk dan kendaraan double cabin hasil pengubahan dari kendaraan sasis atau kendaraan pengangkutan barang.

  1. KENDARAAN BERMOTOR YANG DIBEBASKAN DARI PENGENAAN PPnBM
Menurut KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP - 229/PJ/2003 Pasal 2 PPn BM dibebaskan atas impor atau penyerahan :
    • Kendaraan ambulance, kendaraan jenazah, kendaraan pemadam kebarakan, kendaraan tahanan, kendaraan pengangkutan umum;
    • Kendaraan protokoler kenegaraan;
    • Kendaraan bermotor untuk pengakuan 10 (sepuluh) orang sampai dengan 15 (lima belas) orang termasuk pengemudi yang digunakan untuk kendaraan dinas TNI/POLRI.

LAMPIRAN I
Keputusan Direktur Jenderal Pajak
Nomor
:
KEP-229/PJ/2003
Tanggal  
:
12 Agustus 2003

TATACARA PEMBERIAN DAN PENATAUSAHAAN PEMBEBASAN
PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS
IMPOR ATAU PENYERAHAN KENDARAAN BERMOTOR

A.
UMUM

1.
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM) yang terutang atas impor atau penyerahan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dapat dibebaskan setelah Surat Keterangan Bebas Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (SKB PPn BM) diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk setiap impor atau setiap penyerahan.

2.
SKB PPn BM tidak dapat diberikan apabila permohonan SKB diajukan setelah impor atau setelah penyerahan kendaraan bermotor.

3.
Permohonan untuk memperoleh SKB PPn BM diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat pemohon terdaftar dengan menggunakan formulir permohonan sebagaimana contoh pada Lampiran III Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini. Permohonan dibuat 2 (dua) rangkap, lembar ke-1 untuk KPP dan lembar ke-2 untuk pemohon.

4.
Pemohonan SKB PPn BM dapat ditindak lanjuti apabila Orang Pribadi atau Badan tersebut tidak mempunyai tunggakan hutang pajak yang telah jatuh tempo, kecuali yang telah mendapatkan izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak.

5.
SKB PPn BM harus sudah diterbitkan oleh Kepala KPP paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima lengkap.

6.
SKB PPn BM atas pembelian/perolehan kendaraan bermotor yang dibebaskan dari pengenaan PPn BM sebagaimana contoh pada Lampiran IV Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini diterbitkan oleh Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak dalam 4 (empat) rangkap dengan peruntukan sebagai berikut:


-
Lembar Ke-1
:
untuk PKP penjual kendaraan bermotor;


-
Lembar Ke-2
:
untuk KPP dimana PKP penjual kendaraan bermotor terdaftar;


-
Lembar Ke-3
:
untuk Wajib Pajak pemohon SKB PPn BM;


-
Lembar Ke-4
:
untuk KPP penerbit SKB PPn BM.

7.
SKB PPn BM atas impor kendaraan bermotor yang dibebaskan dari pengenaan PPn BM sebagaimana contoh pada Lampiran V Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini diterbitkan oleh Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak dalam 3 (tiga) rangkap dengan peruntukan sebagai berikut :


-
Lembar Ke-1
:
untuk Kantor Pelayanan Bea dan Cukai ...................................,


-
Lembar Ke-2
:
untuk Wajib Pajak pemohon SKB PPn BM;


-
Lembar Ke-3
:
untuk  KPP penerbit SKB PPn BM.

8.
Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan kendaraan bermotor yang dibebaskan dari pengenaan PPn BM, wajib menerbitkan Faktur Pajak dan membubuhkan Cap "PPn BM DIBEBASKAN SESUAI PP NOMOR 145 TAHUN 2000 SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN PP NOMOR 43 TAHUN 2003" sebagaimana contoh pada Lampiran VI Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini, serta mencantumkan nomor dan tanggal SKB PPn BM pada setiap lembar Faktur Pajak dimaksud.

9.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai setelah menerima SKB PPn BM atas impor kendaraan bemotor wajib membubuhkan cap "PPn BM DIBEBASKAN SESUAI PP NOMOR 145 TAHUN 2000 SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN PP NOMOR 43 TAHUN 2003" sebagaimana contoh pada Lampiran VI Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini, serta mencantumkan nomor dan tanggal SKB PPn BM pada setiap lembar PIB pada saat penyelesaian dokumen impor.

10.
Dalam hal permohonan SKB ditolak seluruhnya, maka surat penolakan diterbitkan dengan menggunakan format surat dinas biasa, dengan menyebutkan alasan penolakan secara jelas.

B.
TATACARA PEMBEBASAN PPn BM ATAS IMPOR ATAU PEYERAHAN KENDARAAN AMBULAN, KENDARAAN JENAZAH, KENDARAAN PEMADAM KEBAKARAN, KENDARAAN TAHANAN, DAN KENDARAAN ANGKUTAN UMUM


1.
Permohonan SKB PPn BM diajukan oleh Orang Pribadi atau Badan yang melakukan impor atau yang menerima penyerahan kendaraan ambulan, kendaraan jenazah, kendaraan pemadam kebakaran, kendaraan tahanan, dan kendaraan angkutan umum kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak di tempat Orang Pribadi atau Badan yang melakukan impor atau yang menerima penyerahan kendaraan bermotor terdaftar.

2.
Permohonan dilengkapi dengan dokumen-dokumen sebagai berikut :


a.
Fotokopi kartu NPWP;


b.
Surat Kuasa Khusus bila menunjuk pihak lain untuk pengurusan SKB PPn BM;


c.
Surat Keterangan atau dokumen lain yang menunjukkan pengunaan kendaraan dimaksud;


d.
Surat Pernyataan yang menyatakan bahwa kendaraan dimaksud tidak akan dipindahtangankan atau diubah peruntukannya dan apabila ternyata dipindahtangankan atau diubah peruntukannya, bersedia membayar kembali PPn BM yang dibebaskan ditambah sanksi dengan ketentuan yang berlaku;


e.
Perjanjian jual-beli kendaraan bermotor yang memuat keterangan-keterangan antara lain:



(1)
Nama penjual;



(2)
Nama pembeli;



(3)
Jenis dan spesifikasi kendaraan yang dibeli;


f.
Ijin Usaha dan Ijin Trayek yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang (untuk kendaraan angkutan umum selain taksi) atau Persetujuan (Ijin) Prinsip yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah setempat (untuk taksi);


g.
Khusus untuk impor kendaraan bermotor, dilengkapi dengan dokumen impor berupa :



-
Invoice;



-
Bill of Lading (B/L) atau Airway Bill (AWB);



-
Dokumen Kontrak Pembelian yang bersangkutan atau dokumen yang dapat dipersamakan;



-
Dokumen pembayaran yang berupa Letter of Credit (L/C) atau bukti transfer atau bukti lainnya berkaitan dengan pembayaran tersebut.

C.
TATACARA PEMBEBASAN PPn BM ATAS IMPOR ATAU PENYERAHAN KENDARAAN PROTOLER KENEGARAAN, KENDARAAN DINAS ATAU KENDARAAN PATROLI TNI/POLRI

1.
Permohonan SKB PPn BM diajukan oleh TNI/POLRI untuk impor atau perolehan kendaraan dinas atau kendaraan patroli TNI/POLRI dan oleh Sekretariat Negara untuk impor atau perolehan kendaraan protokoler kenegaraan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak ditempat Bendaharawan TNI/POLRI atau Bendaharawan Sekretariat Negara terdaftar.

2.
Permohonan dilengkapi dengan dokumen-dokumen sebagai berikut:


a.
Fotokopi kartu NPWP;


b.
Surat Kuasa Khusus bila menunjuk pihak lain untuk pengurusan SKB PPn BM;


c.
Surat Keterangan atau dokumen lain yang menunjukkan penggunaan kendaraan dimaksud;


d.
Surat pernyataan yang menyatakan bahwa kendaraan dimaksud tidak akan dipindahtangankan atau diubah peruntukannya dan apabila ternyata dipindahtangankan atau diubah peruntukannya, bersedia membayar kembali PPn BM yang dibebaskan ditambah sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku;


e.
Kontrak atau Surat Perintah Kerja untuk pengadaan kendaraan dimaksud;


f.
Khusus untuk impor kendaraan bermotor, dilengkapi dengan dokumen impor berupa:



-
Invoice;



-
Bill of Lading (B/L) atau Airway Bill (AWB);



-
Dokumen Kontrak Pembelian yang bersangkutan atau dokumen yang dapat dipersamakan;



-
Dokumen pembayaran yang berupa Letter of Credit (L/C) atau bukti transfer atau bukti lainnya berkaitan dengan pembayaran tersebut.

  1. RESTITUSI PPnBM ATAS KENDARAAN BERMOTOR
LAMPIRAN II
Keputusan Direktur Jenderal Pajak
Nomor
:
KEP-229/PJ/2003
Tanggal  
:
12 Agustus 2003

TATA CARA PENGEMBALIAN
PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS
IMPOR ATAU PENYERAHAN KENDARAAN BERMOTOR

A.
UMUM

1.
Permohonan pengembalian PPn BM yang telah dipungut atas impor atau penyerahan kendaraan bermotor yang dibebaskan dari pengenaan PPn BM dapat dilakukan oleh :


a.
Orang Pribadi atau Badan yang melakukan impor atau yang menerima penyerahan kendaraan bermotor, yaitu:



-
Orang Pribadi atau Badan yang melakukan impor atau yang menerima penyerahan kendaraan ambulan, kendaraan ambulan, kendaraan jenazah, kendaraan pemadam kebakaran, kendaraan tahanan;



-
Pengusaha Angkutan Umum;



-
Sekretariat Negara; atau



-
TNI/POLRI.


b.
Importir, distributor, dealer, agen, penyalur, showroom, atau pihak ketiga lainnya selain yang dimaksud pada buktir a diatas.

2.
Permohonan pengembalian PPn BM diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala KPP ditempat pemohon terdaftar.

3.
Pengajuan permohonan pengembalian PPn BM harus dilakukan paling lambat 12 (dua belas) bulan setelah bulan terjadinya impor atau penyerahan kendaraan bermotor. Untuk menentukan saat terjadinya impor berpedoman pada tanggal PIB, sedangkan saat terjadinya penyerahan berpedoman pada Bukti Tanda Terima penyerahan kendaraan bermotor.

4.
Atas permohonan pengembalian PPn BM tersebut harus diterbitkan Surat Ketetapan Pajak paling lambat 2 (dua) bulan sejak tanggal diterimanya permohonan secara lengkap.

B.
PENGEMBALIAN PPn BM YANG TELAH DIBAYAR ATAU DIPUNGUT ATAS IMPOR ATAU PEROLEHAN KENDARAAN AMBULAN, KENDARAAN JENAZAH, KENDARAAN PEMADAM KEBAKARAN, DAN KENDARAAN TAHANAN OLEH ORANG PRIBADI ATAU BADAN YANG MELAKUKAN IMPOR ATAU YANG MENERIMA PENYERAHAN

1.
Permohonan pengembalian diajukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala KPP ditempat Orang Pribadi atau Badan yang melakukan impor atau yang menerima penyerahan kendaraan bermotor terdaftar.

2.
Permohonan dilengkapi dokumen-dokumen sebagai berikut :


a.
Fotofopi kartu NPWP;


b.
Fotokopi Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKP) dan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) kendaraan ambulan, kendaraan janazah, kendaraan pemadam kebakaran, atau kendaraan tahanan;


c.
Asli dan Fotokopi Faktur Pajak dari penjual;


d.
Fotokopi Faktur Pajak dari Pabrikan kepada Distributor/ Dealer/ Agen/ Penyalur/ Showroom yang didalamnya dicantumkan PPn BM yang telah dipungut;


e.
Khusus untuk kendaraan bermotor eks impor kendaraan CBU, dilengkapi dengan Surat Ketarangan yang memuat nama, alamat dan NPWP importir kendaraan bermotor yang diterbitkan oleh penjual kendaraan bermotor yang dimaksud;


f.
Surat pernyataan yang menyatakan bahwa kendaraan dimaksud tidak akan dipindahtangankan atau diubah peruntukannya dan apabila ternyata dipindahtangankan atau diubah peruntukannya, bersedia membayar kembali PPn BM yang dibebaskan ditambah sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku;


g.
Khusus atas impor kendaraan bermotor yang dilakukan sendiri oleh pemakai kendaran bermotor, dilengkapi dengan dokumen impor berupa:



-
Pemberitahuan Impor Barang dan Surat Setoran Pajak;



-
Invoice;



-
Bill of Lading (B/L) atau Airway Bill (AWB);



-
Dokumen Kontrak Pembelian atau Purchase Order yang bersangkutan atau dokumen yaang dapat dipersamakan;



-
Dokumen pembayaran yang berupa Letter of Credit (L/C) atau bukti transfer atau bukti lainnya yang berkaitan dengan Pembayaran tersebut.

C.
PENGEMBALIAN PPn BM YANG TELAH DIBAYAR ATAU DIPUNGUT ATAS IMPOR ATAU PEROLEHAN KENDARAAN ANGKUTAN UMUM OLEH PENGUSAHA ANGKUTAN UMUM

1.
Permohonan pengembalian diajukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala KPP di tempat Pengusaha Angkutan Umum terdaftar.

2.
Permohonan dilengkapi dokumen-dokumen sebagai berikut :


a.
Fotokopi kartu NPWP;


b.
Fotocopy BPKP dan STNK kendaraan angkutan umum (plat dasar kuning) dan atau Surat Tanda Uji Kendaraan dari DLLAJR;


c.
Asli dan Fotokopi Faktur Pajak Standar dari penjual;


d.
Fotokopi Faktur Pajak Standar dari Pabrikan kepada Distributor/ Dealer/ Ager/ Penyalur/ Showroom yang didalamnya dicantumkan PPn BM yang telah dipungut;


e.
Khusus untuk kendaraan bermotor eks impor kendaraan CBU dilengkapi dengan Surat Keterangan yang memuat nama, alamat dan NPWP importir kendaraan bermotor yang diterbitkan oleh penjual kendaraan bermotor dimaksud;


f.
Ijin Usaha dan Ijin Trayek yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang (untuk kendaraan angkutan umum selain taksi) atau Persetujuan (Ijin) Prinsip yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah setempat (untuk taksi);


g.
Surat pernyataan yang menyatakan bahwa kendaraan dimaksud tidak akan dipindahtangankan atau diubah peruntukannya dan apabila ternyata dipindahtangankan atau diubah peruntukannya, bersedia membayar kembali PPn BM yang dibebaskan ditambah sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku;


h.
Khusus atas impor kendaraan angkutan umum yang dilakukan sendiri oleh pengusaha angkutan umum, dilengkapi dengan dokumen impor berupa :



-
Pemberitahuan Impor Barang dan Surat Setoran Pajak;



-
Invoice;



-
Bill of Lading (B/L) atau Airway Bill (AWB);



-
Dokumen Kontrak Pembelian atau Purchase Order yang bersangkutan atau dokumen yang dapat dipersamakan;



-
Dokumen pembayaran yang berupa Letter of Credit (L/C) atau bukti transfer atau bukti lainnya yang berkaitan dengan pembayaran tersebut.

D.
PENGEMBALAN PPn BM YANG TELAH DIBAYAR ATAU DIPUNGUT ATAS IMPOR ATAU PEROLEHAN KENDARAN PROTOKOLER KENEGARAAN OLEH SEKRETARIAT NEGARA ATAU KENDARAAN DINAS ATAU KENDARAAN PATROLI TNI/POLRI

1.
Permohonan pengembalian diajukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala KPP dimana Bendaharawan TNI/POLRI atau Bendaharawan Sekretariat Negara tardaftar.

2.
Permohonan dilengkapi dokumen-dokumen sebagai berikut :


a.
Fotokopi kartu NPWP bendaharawan TNI/POLRI atau bendaharawan Sekretariat Negara;


b.
Fotokopi BPKP dan STNK kendaraan dinas atau patroli TNI/POLRI atau kendaraan protokoler kenegaraan;


c.
Asli dan fotokopi Faktur Pajak dari penjual;


d.
Fotokopi Faktur Pajak dari Pabrikan kepada Distributor/ Dealer/ Agen/ Penyalur/ Showroom yang di dalamnya dicantumkan PPn BM yang telah dipungut;


e.
Khusus untuk kendaraan bermotor eks impor kendaraan CBU dilengkapi dengan Surat Keterangan yang memuat nama, alamat dan NPWP importir kendaraan bermotor yan diterbitkan oleh penjual kendaraan bermotor dimaksud;


f.
Surat pernyataan yang menyatakan bahwa kendaraan dimaksud tidak akan dipindahtangankan atau diubah peruntukannya dan apabila ternyata dipindahtangankan atau diubah peruntukannya, bersedia membayar kembali PPn BM yang dibebaskan ditambah sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku;


g.
Khusus atas impor kendaraan bermotor yang dilakukan sendiri oleh TNI/POLRI atau Sekretariat Negara, dilengkapi dengan dokumen impor berupa:



-
Pemberitahuan Impor Barang dan Surat Setoran Pajak;



-
Invoice;



-
Bill of Lading (B/L) atau Airway Bill (AWB);



-
Dokumen Kontrak Pembelian atau Purchase Order yang bersangkutan atau dokumen yaang dapat dipersamakan;



-
Dokumen pembayaran yang berupa Letter of Credit (L/C) atau bukti transfer atau bukti lainnya yang berkaitan dengan pembayaran tersebut.

E.
PENGEMBALIAN PPn bm OLEH IMPORTIR/ DISTRIBUTOR/ DEALER/ AGEN/ PENYALUR/ SHOWROOM.

1.
Permohonan pengembalian diajukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala KPP ditempat Importir/ Distributor/ Agen/ Penyalur/ Showroom terdaftar.

2.
Permohonan dilengkapi dokumen-dokumen sebagai berikut:


a.
Fotokopi kartu NPWP;


b.
SKB PPn BM atas nama pembeli atau pihak yang menerima penyerahan kendaraan bermotor dimaksud;


c.
Khusus untuk selain importir dilengkapi dengan dokumen berupa:



-
Fotokopi Faktur Pajak dari Pabrikan kepada distributor/ dealer/ agen/ penyalur/ showroom yang didalamnya dicantumkan PPn BM yang telah dipungut;



-
Khusus untuk kendaraan bermotor eks impor kendaraan CBU dilengkapi dengan Surat Keterangan yang memuat nama, alamat dan NPWP importir kendaraan bermotor yang diterbitkan oleh penjual kendaraan bermotor dimaksud;


d.
Khusus untuk importir (termasuk Pabrikan/ Distributor/ Dealer/ Agen/ Penyalur/ Showroom serta pihak lain yang bertindak sebagai importir) dilengkapi dengan dokumen impor berupa:



-
PIB dan SSP;



-
Invoice;



-
Bill of Lading (B/L) atau Airway Bill (AWB);



-
Dokumen Kontrak Pembelian atau Purchase Order yang bersangkutan atau dokumen yang dapat dipersamakan;



-
Dokumen pembayaran yang berupa Letter of Credit (L/C) atau bukti transfer atau bukti lainnya yang berkaitan dengan pembayaran tersebut.

F.
KONFIRMASI PEMBAYARAN PPn BM

1.
PPnBM yang telah dibayar atas impor kendaraan CBU.
Untuk memperoleh kepastian bahwa PPnBM telah disetor ke Kas Negara, maka :


-
Kepala KPP yang memproses permohonan pengembalian harus melakukan konfirmasi kepada Kepala KPP ditempat importir terdaftar dengan mengirimkan informasi tentang spesifikasi kendaraan bermotor eks impor kendaraan CBU yang dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah permohonan diterima lengkap.


-
Kepala KPP yang menerima permintaan konfirmasi diwajibkan untuk menjawab permintaan konfirmasi paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya permintaan konfirmasi.


-
Untuk dapat menjawab permintaan konfirmasi dimaksud, Kepala KPP agar melakukan penelitian terhadap SPT Masa PPN importir dimaksud dan dokumen impor (PIB dan Lembar Lanjutan PIB serta SSP lembar ke-tiga) yang dilampirkan dalam SPT Masa PPN tersebut.

2.
PPn BM yang telah dipungut atas penyerahan kendaraan bermotor hasil perakitan/produksi atau pengubahan.
Untuk memperoleh kepastian bahwa PPn BM telah disetor ke Kas Negara, maka :


-
Kepala KPP yang memproses permohonan pengembalian harus melakukan konfirmasi kepada Kepala KPP dimana pihak yang memungut PPn BM terdaftar dengan mengirimkan foto kopi Faktur Pajak Standar yang diterbitkan oleh Pabrikan Kendaraan Bermotor paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah permohonan diterima lengkap.


-
Kepala KPP yang menerima permintaan konfirmasi diwajibkan untuk menjawab permintaan konfirmasi paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja  setelah tanggal diterimanya permintaan konfirmasi.


-
Untuk dapat menjawab permintaan konfirmasi dimaksud, Kepala KPP agar melakukan penelitian antara lain dengan membandingkan fotokopi Faktur Pajak Standar yang dikirim dengan Daftar Rincian Kendaraan Bermotor yang merupakan lampiran SPT Masa PPN untuk Masa Pajak yang bersangkutan.




  1. BKP YANG TERGOLONG MEWAH SELAIN KENDARAAN BERMOTOR
Menurut Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia  Nomor 106/PMK.010/2015, jenis barang kena pajak yang tergolong mewah selain kendaraan bermotor yang dikenai pajak penjualan atas barang mewah  yaitu:
Pasal 1
Jenis Barang Kena Pajak yang tergolong mewah selain kendaraan bermotor yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) adalah barang-barang sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.



Pasal 2
Jenis Barang Kena Pajak yang tergolong mewah selain kendaraan bermotor yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 40% (empat puluh persen) adalah barang-barang sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 3
Jenis Barang Kena Pajak yang tergolong mewah selain kendaraan bermotor yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) adalah barang-barang sebagaimana tercantum datam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 4
Jenis Barang Kena Pajak yang tergolong mewah selain kendaraan bermotor yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) adalah barang-barang sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.











J. CONTOH SOAL
  1. PT Nada Elektronika adalah PKP dengan jenis usaha industri barang elektronik. PKP ini menyerahkan 1000 unit pesawat LED-TV 40” kepada PT Nada Indah selaku pedagang besar dengan Harga Jual per unit Rp 3.000.000,00 terutang PPN sebesar 10% dan PPnBM 20%. hitung PPN dan PPnBM
Jawab :
Harga Jual per unit                                          Rp 3.000.000,00
PPN 10% X Rp 3.000.000,00                         Rp  300.000,00
PPN-BM 20% X Rp 3.000.000,00                 Rp  600.000,00

  1. Harga Jual Kendaraan Bermotor Rp. 500.000.000 (termasuk PPN 10% dan PPnBM 20%) Uang muka diterima tanggal 10 Agustus 2009 sebesar Rp. 200.000.000 Kendaraan akan diserahkan tanggal 20 Sepetember 2009 dengan kekurangan bayar sebesar Rp. 300.000.000
Jawab :
PPN dan PPnBM terutang dan harus dipungut:
a.       Pada saat diterima uang muka tanggal 10 Agustus 2009 PPN yang terutang = 10/130 x 200.000.000 = Rp. 14.000.000,- dan harus dilaporkan pada SPT Masa PPN bulan Agustus 2009. PPn BM yang terutang 20/130 x Rp 200.000.000,- = Rp. 30.000.000 dan harus dilaporkan pada SPT Masa PPnBM bulan Agustus 2009 Pada saat penyerahan kendaraan tanggal 20 September 2009.
b.      PPN yang terutang = 10/130 x Rp. 300.000.000 = Rp. 21.000.000,-. dan harus dilaporkan pada SPT Masa PPN bulan September 2009. PPnBM yang terutang 20/130 x Rp 300.000.000,- = Rp. 45.000.000 dan harus dilaporkan pada SPT Masa PPnBM bulan Agustus 2009
c.       Dealer QQ membeli sasis kendaraan bermotor ( no rangka) dari Main Dealer Rizky seharga Rp. 150.000.000,- dengan potongan harga sebesar Rp. 1. 500.000 (Termasuk PPN) Dealer QQ menyuruh Karoseri Maitzaa mengubah sasis tersebut menjadi kendaraan bermotor angkutan orang dengan ongkos Rp. 15.000.000 dan PPN dipungut karoseri Maitzaa sebesar Rp. 1.500.000,- Dealer QQ kemudian menjual kendaraan hasil rakitan tersebut kepada pembeli dengan harga Rp. 200.000.000,- (termasuk PPN dan PPnBM) PPnBM terutang dan dipungut oleh Dealer QQ dengan Tarif 20%
Diminta Hitung PPN dan PPnBM dari transaksi tersebut diatas apakah PPN lebih bayar ataukah kurang bayar
Jawab :
Perhitungan dan pelaporan PPN oleh Dealer QQ                     Rp. 150.000.000,-
Potongan Pembelian                                                                  Rp 1.500.000,-
Harga beli sasis (termasuk PPN)                                                Rp. 135.000.000,-
DPP PPN atas Pembelian sasis 100/110 x Rp 135.000.000      Rp. 121.500.000,-
PPN atas Pembelian sasis 10% x Rp. 121.500.000,-                 Rp 12.150.000,-
Biaya karoseri (tidak termasuk PPN)                                        Rp. 15.000.000,-
PPN atas biaya karoseri 10% x Rp. 15.000.000,-                      Rp 1.500.000,-
Penjualan (off the road)
Harga jual termasuk PPN 10% dan PPnBM 20%                     Rp. 200.000.000,-
DPP PPN dan PPnBM 100/130 x Rp. 200.000.000,-              Rp. 152.000.000,-
PPN terutang 10% x Rp. 152.000.000                                      Rp 15.200.000,-
PPnBM terutang 20% x Rp. 152.000.000,-                               Rp. 30.400.000,-
Perhitungan PPN dan PPnBM atas transaksi tersebut
PPN Keluaran 10% x Rp. 152.000.000,-                                   Rp. 15.200.000,-
Pajak Masukan :
Pembelian sasis                                                  Rp. 12.150.000,-
Jasa karoseri                                                       Rp. 1.500.000,-
Jumlah Pajak Masukan                                                              Rp. 13.650.000,-
PPN yang harus disetor                                                                         Rp. 1.550.000,-
PPnBM yang harus disetor 20% x Rp. 152.000.000,-               Rp. 30.400.000,-

  1. Pada tanggal 12 April 2011 sebuah real estate menyerahkan 10 unit bangunan masing – masing seluas 350 m2 diatas sebidang tanah seluas 500 m2 dengan Harga Jual per unit sebesar Rp 3.500.000.000,00 termasuk Harga Jual Tanah per m2 sebesar Rp 4.000.000,00. Hitung PPN dan PPnBM
Jawab:
Ketika menghitung PPN dan PPnBM yang terutang hendaknya diperhatikan dua hal, yaitu:
a.       Rumah dengan luas bangunan 350 m2 atau lebih memenuhi kriteria sebagai rumah mewah yang atas penyerahannya di samping terutang PPN juga terutang PPnBM dengan tarif 20%
b.      Sebagai DPP adalah Harga Jual rumah termasuk Harga Jual Tanah.
Berdasarkan argumentasi tersebut, atas penyerahan 12 unit hunian mewah tersebut, pajak yang terutang atas penyerahan per unit rumah dihitung sebagai berikut:
Harga Jual per unit                                          Rp  3.500.000.000,00
PPN 10% X Rp  3.500.000.000,00                 Rp  350.000.000,00
PPN-BM 20% X Rp 3.500.000.000,00          Rp  700.000.000,00


DAFTAR PUSTAKA

Sukardji, Untung. 2015. Pajak Pertambahan Nilai Edisi Revisi 2015. Jakarta:PT
RAJAGRAFINDO PERSADA
www.ortax.org
http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/374/jbptunikompp-gdl-elysuhayat-18685-12pertemuan-2.pdf
http://vero.my.id/wp-content/uploads/2013/09/Tarif-dan-Perhitungan-PPN-dan-PPNBm.pdf
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak penjualan atas Barang Mewah

1 komentar so far

Casino, Tunica Resorts Casino & Resort - Mapyro
See reviews, directions, phone 남양주 출장안마 number 하남 출장샵 and reviews 광주 출장마사지 of Casino, Tunica 태백 출장안마 Resorts Casino & 동해 출장안마 Resort, Casino, Robinsonville, MS.


EmoticonEmoticon